Jumat, 26 November 2010

Jalan Sufi Gus Dur

Kharisma Gus Dur, setelah wafatnya, ternyata melebihi realitaskehidupannya. Keharuman spiritual yang eksotis, begitu lekat danfenomenal. Hal ini tentu berhubungan dengan  kondisi sosiologismasyarakat NU yang seringkali membuat standar maqom spiritual seseorangdiukur dengan kharisma  dan keanehan yang luar biasa (khariqul ‘adat)berupa karomah-karomah, walau pun dalam perspektif Sufisme standartersebut tidak baku.
Dalam khazanah tasawuf, tradisi kewalian seseorang sangat ketatdengan aturan-aturan gnostik (ma’rifatullah) yang teraksentuasi dalamsikap ubudiyah. Ada dua model kewalian dalam sosiologi Tasawuf, di satusisi seorang wali  ada yang sangat popular dengan hal-hal luar biasa diluar jangkauan nalar, ada pula yang sangat tersembunyi, bahkankehebatan karomahnya tidak dikenal oleh public sama sekali.
Namun, Gus Dur memiliki fenomena spiritual yang langka dibandingkiai-kai lain di Jawa, karena harus muncul dalam gebrakan sejarah yangpenuh warna. Dari sosoknya sebagai budayawan, seniman, kiai, politisi,pemikir, pembaharu, dan seorang yang mampu mengangkat khazanahtradisional dalam dialog cosmopolitan yang actual. Dan spirit yangmembawa sosoknya sedemikian kuat itu, dilandaskan pada spiritualitasyang sangat kaya dengan kebebasan, kemerdekaan, penghargaankemanusiaan, sekaligus askestisme yang tersembunyi dalam jiwanya: DuniaSufi.
Sufisme Gus Dur yang selama ini hanya difahami oleh massanya,melalui kebiasaan ziarah ke makam para wali, ungkapan-ungkapan yangcontroversial,  dan spontanitasnya yang inspiratif, serta garisketurunan seorang Ulama dan wali yang terkenal, Hadhratusy SyeikhHasyim Asy’ari, pendiri NU. Namun, laku Sufistik Gus Dur justruterletak pada sikap dan konsistensinya terhadap nilai-nilai tasawufyang sama sekali tidak terpaku pada simbolisme tasawuf sebagaimanagerakan kaum Sufi modern saat ini.
Komunikasi Ilahiyah yang selama ini terjalin adalah “hubunganrahasia” yang sunyi di tengah-tengah hiruk pikuk dunia, dan melakukangerakan terlibat dengan kehidupan nyata, dengan keberanian mengambilresiko bahaya, demi mempertahankan prinsip utamanya. Namun di sisilain, ada konser kebahagiaan yang berirama indah dalam musikaldzikrullah, saat Gus Dur sedang sendiri, menyepi (khalwat) dalam jedahkesehariannya. Dua sisi hiburan spiritual yang boleh disebut sangatlangka: Ramai dalam sunyi, dan sunyi dalam ramai.
Pengaruh dari nuansa yang diyakini itu, Gus Dur justru mampumelakukan terobosan yang luar biasa, begitu cepat. Dalam 20 tahungerakan Gusdurian, masyarakat NU yang jumlahnya begitu besar terbukalebar dalam dialog kemodernan, seperti sebuah gerakan konser musik yangdinamik. Maka liberalitas tradisionalnya muncul dengan kuantum melebihizamannya. NU menjadi organisasi masyarakat muslim modern yangmengejutkan, yang disebut oleh Nakamura sebagai organisasi Islam palingdemokratis di dunia.
Namun seluruh dinamika gerakan Gus Dur tidak lepas dari nilai-nilaitradisional Sufistiknya yang transformative. Semisal Gus Dur yangbegitu kental dengan hikmah-hikmah Ibnu Athaillah as-Sakandary yangtertuang dalam kitab Sufi Al-Hikam – bahkan hafal di luar kepala –dalam membangun masyarakat Islam dalam konteks ke-Indonesiaan.
Kitab Al-Hikam sangat dikenal oleh para Ulama Sufi sejak abad tujuhhijriyah, menjadi manual bagi “Sufisme Pesantren” tingkat tinggi,sebagai kajian sufi paska Ihya’ Ulumaddin, Al-Ghazaly, Ar-RisalatulQusyairiyah karya Abul Qasim Al-Qusyairy,  maupun Al-Luma’, karya AbuNashr as-Sarraj.
Kekentalan Gus Dur dengan Al-Hikam memberi warna kuat, terutama duawacana disana yang berbunyi: “Janganlah engkau bergabung atau bergurudengan orang yang kata-kata dan perilaku ruhaninya tidak membangkitkandirimu dan menunjukkan padamu menuju Allah.” Konon, nama NahdhatulUlama mendapatkan inspirasi dari hikmah tersebut, sekaligus menjadistandar apakah Ulama NU kelak konsisten dengan kebangkitan menuju Allahatau menuju dunia?
Kemudian, hikmah lain yang begitu kental, adalah, “Pendamlah dirimudi tanah sunyi, karena biji yang tak pernah terpendam tidak akan tumbuhdengan sempurna.” Sebuah wacana yang sangat kuat tekanannya dalammenggugat kemunafikan beragama, dan segala gerakan industri ekonomi danpolitik atas nama agama, yang akhir-akhir ini begitu menguat beriringandengan gerakan formalisme keagamaan.
Menyembunyikan hubungan antara hamba dan Allah sebagai rahasiakehambaan adalah mutiara Sufi yang agung. Sebaliknya pamer pengalamanberagama, bahkan menjurus pada riya’ adalah bentuk syirik yangtersembunyi. Karena itu, dalam Al-Hikam juga disebutkan, “Nafsu dibalikmaksiat itu nyata dan jelas, tetapi nafsu di balik taat itu, sangattersembunyi, dan terapi atas yang tersembunyi sangatlah sulit.”
Demokrasi dan Sufisme
Disinilah Sufisme menjadi penghubung efektif, ketika demokrasiditerjemahkan dalam hubungan saling menghargai di tengah pluralitasyang sedang bergerak. Sebab, kebebasan, penghargaan terhadap hak-hakkemakhlukan, kecintaan sesama, kehambaan individu, dan sejumlahnilai-nilai yang bisa mempertemukan perspektif bersama hanya padaSufisme. Sebab hanya Sufisme-lah yang melihat dua titik pandang: Allahdan manusia. Pandangan-pandangan Sufistik itulah yang melampaui“halal-haram”, sehingga hubungan kebangsaan tidak dihorisonkan padabelahan-belahan yang saling berhadapan, hitam dan putih. Di sini, jikatidak kita cermati, lompatan-lompatan pemikiran Gus Dur terasakonstroversial, karena di satu sisi ia harus menjadi Kiai Bangsa, dilain pihak ketika ia harus menjadi Presiden. Ketika ia masih menjadipresiden ada posisi dualistik. Posisinya sebagai Kiai Bangsa adalahposisi Sufistik dalam membangun kearifan hidup bersama, sementaratugas-tugas formal kepresidenannya, jelas berhubungan dengan amanatyang dilimpahkan oleh MPR kepadanya. Namun, ketika posisi Kiai Bangsadinilai lebih menonjol ketimbang kepresidenannya, tiba-tibagugatan-gugatan muncul sampai pada titik paling kritis. Suatu gugatan“halal-haram” dari lawan-lawan politiknya.
Mengapa Gus Dur lebih banyak menonjolkan Kiai Bangsa ketimbangkepresidenannya? Karena kebutuhan bangsa saat ini bukanlah kebutuhanformalitas dan “topeng-topeng” dibalik birokrasi dan penyelenggaraannegara. Setelah tiga dasawarsa bangsa ini dibelenggu oleh formalismedan ritualisme monopolitik, maka, pertama-tama bangsa ini membutuhkanpencerahan jiwa agar bisa kembali ke fitrah kebangsaannya.
Tanpa kesadaran psikhologis akan hakikat berbangsa, demokrasi akangagal dibangun, apalagi oleh sekadar mayoritas dan minoritas dalamperolehan suara, menang dan kalah belaka. Berarti, Gus Dur tetapmengambil wilayah hati nurani, untuk menjadi jiwa demokrasi. Disebuthati nurani disini, bukanlah ambisi-ambisi batin yang diaksentuasikandalam jeritan protes atau pemberontakan rasional. Protes-protes apa punnamanya, selalu merujuk pada ketidakadilan.
Tetapi penegakan keadilan belaka, ternyata tidak cukup untukmenegakkan rumah kebangsaan. Karena fondasi rumah kebangsaan kitaadalah cinta dan kasih sayang, bukan keadilan. Kasih sayang ataurahmat, ketika diimplementasikan dalam proses berdemokrasi, akanmelahirkan penghargaan terhadap pluralitas secara adil dan egaliter.Sementara penegakan keadilan tanpa rahmat, hanya melahirkan kemenanganpenuh dendam. Inilah yang ingin dihindari Gus Dur, ketika dulumengadili Soeharto, jangan sampai timbul rasa dendam terhadap tokohOrba tersebut. Sebab siapa pun merasa tidak mendapatkan ketidakadilanketika ia harus dihukum, namun harus pula menerima dendam kemanusiaan.
Dalam kisah legendaris, yang dipresentasikan secara dramatis antaraSunan Kalijogo dengan Syeikh Siti Jenar, terpantul suatu cerminan,bahwa eksekusi terhadap Syeikh Siti Jenar, sedikit pun tidak mengurangirasa cinta Sunan Kalijogo terhadap kawannya itu. Karena, sesungguhnyajiwa dan hati Sunan Kalijogo dan Syekh Siti Jenar berada dalam dataranyang sama. Dan sebaliknya, sikap demokrat sejati Syeikh Siti Jenar yangsecara “berani” menghadapi eksekusi, adalah karena penghargaannyaterhadap konstitusi dan hukum para Wali.
Maka, di dalam drama eksekusi tersebut, prosedur-prosedur formaltidak boleh mengintervensi aturan-aturan jiwa yang menjadi batin darisuatu keputusan. Karena intervensi rasionalisme terhadap spiritualismebisa melahirkan emosi-emosi negatif, sebalikinya intervensispiritualisme terhadap rasionalisme bisa melahirkan kalim-klaimsakralisme dalam bentuk sekularisme yang maniak.
Oleh sebab itu, dendam terhadap tokoh yang bersalah, bisa disebutsebagai “dosa demokrasi” ketika penegakan hukum sebagai salah satulemen demokrasi, justru ditaburi oleh “balas dendam”. Sementara faktayang kita lihat dalam proses demokratisasi kita, justru ada elemen lainyang ditolerir dalam proses penegakan hukum, yaitu proses dendamsejarah. Kenyataan ini menunjukkan adanya pertanyaan besar yang belumdijawab oleh mereka yang ingin menegakkan demokrasi itu sendiri.Nilai-nilai dan roh demokrasi model apakah yang hendak ditegakkan bagidemokrasi Indonesia?
Sebagai suatu wacana, Sufisme bisa disebut sebagai wacana baru bagiproses penegakan wacana kedemokrasian kita. Walau pun begitu, —setidak-tidaknya, — kita melihat sebagian praktek Sufisme bagidemokrasi itu ada dalam perilaku kepemimpinan Gus Dur. Terlepas sukamaupun tidak, sangat tidak demokratis manakala kita bersikap aprioribegitu saja terhadap gerakan Demokrasi Gusdurian, sebelum kita memahamisecara tulus apa dan siapa Gus Dur dalam konteks kebudayaan danhakikat-hakikat keagamaan. *
Gus Dur adalah Tokoh Pluralisme, terserah jika ada orang yang tidaksuka dengan sebutan ini, termasuk para pecintanya sendiri. Konon,Djohan Efendi, sahabat setia Gus Dur, pernah diminta Gus Dur agar jikaia kelak wafat, nisannya ditulis “Di Sini dikubur Sang Pluralis”.Terlepas pesan itu benar diucapkan Gus Dur atau tidak, dan tak pedulimasyarakat memperdebatkan maknanya, tetapi beliau orang yang selaluingin memandang manusia, siapapun dia dan di manapun dia berada,sebagai manusia yang adalah ciptaan Tuhan.
Sebagaimana Tuhan menghormatinya, Gus Dur juga ingin menghormatinya.Sebagaimana Tuhan mengasihi makhluk-Nya, Gus Dur juga inginmengasihinya.”Takhalquu bi Akhlaq Allah” (berakhlaklah dengan akhlakAllah), kata pepatah sufi. Sejauh yang saya tahu, Gus Dur tak banyakbicara soal wacana Pluralisme berikut dalil-dalil teologisnya. Tetapimengamalkan, nnempraktikkan dan memberi mereka contoh atasnya.Pluralisme jauh lebih banyak dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hariGus Dur dibanding diwacanakan.
Kalaupun ia diminta dalil agama, ia akan menyampaikan ayat al Qur’anini: “Wahai manusia, Aku ciptakan kalian terdiri dari laki-laki danperempuan. Dan Aku jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku,agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya manusia yang paling mulia diantara kalian di mata-Ku, ialah orang yang paling bertaqwa kepada-Ku”.
“Li Ta’arafu” (saling mengenal), tidak sekedar tahu nama, alamatrumah, nomor handphone, atau tahu wajah dan tubuh yang lain. Salingmengenal adalah memahami kebiasaan, tradisi, adat-istiadat, pikiran,hasrat yang lain, yang berbeda, yang tak sama. Lebih dari segalanya “lita’arafu” berarti agar kalian saling menjadi arif bagi yang lain.
Yang paling mulia di hadapan Tuhan adalah yang paling taqwa, bukanyang paling gagah atau cantik, bukan yang paling kaya atau rumah megah.Taqwa bukan sekedar sering datang ke masjid atau ke majlis ta’lim,membaca kitab suci, memutar-mutar tasbih, bangun malam, atau puasasaban hari.Tetapi lebih dari itu taqwa adalah mengendalikan amarah,hasrat-hasrat rendah, menjaga hati, tidak melukai, tidak mengancam,ramah, sabar, rendah hati dan sejuta makna kebaikan kepada yang laindan kepada alam.
Semua itulah makna taqwa yang dipahami Gus Dur. Maka Gus Dur bukansekedar menghargai atau menghormati manusia yang berbuat baik,melainkan juga menyambutnya dengan rendah hati dan rengkuhan yanghangat. Sebaliknya, ia akan menentang siapa saja yang merendahkanmartabat manusia, apalagi menyakiti, mengurangi dan menghalangi hak-hakmereka. la akan membela mereka yang martabat kemanusiaannyadirendahkan, mereka yang hak-haknya dikurangi, dipasung, disakiti danditelantarkan.
Ketika para pengikut Ahmadiah diusir dan masjid-masjid merekadirobohkan, Gus Dur hadir bersama mereka. Ketika Gereja-gerejadilempari batu, ia berteriak “jangan”. Ketika Inul Daratista dihujatramai-ramai karena dia bergoyang-goyang dan meliuk-liukkan tubuhnyabagai bor, ia “memeluk”nya dengan hangat. Ketika Dorce disoraki karenaberganti kelamin, ia mengajaknya bicara dengan lembut dan penuh kasih.“Jika itu adalah dirimu, teruslah bekerja”, katanya. Ketika urusangambar tubuh polos perempuan (pornografi) hendak diserahkan kepadaNegara, ia berdemonstrasi bersama isteri tercintanya; Shinta Nuriah danbersama-sama mereka yang menghargai kemanusiaan. Ketika orang-orangThionghoa meminta hari raya Imlek dan Barongsae, ia memberikannyadengan tulus. Meski tak bisa melihat dengan matanya, ia hadirmenyaksikan tarian-tarian singa itu dan bertepuk tangan. Gus Dur senang.
Seringkali kita melihat sikap perlawanan dan pembelaan itudilakukannya sendirian. la berjalan sendiri, meski ia harusmempertaruhkan jiwanya. la tak peduli. Dalam perlawanannya terhadappembredelan tabloid Monitor dan pembelaannya terhadap Salman Rusydidalam kasus bukunya Satanic Verses, yang bikin heboh itu, misalnya, GusDur tak menemukan mata lain yang penuh pengertian. la berjalan sendiri.Seorang sufi mengatakan “ia yang jiwanya telah mencapai kesadaran yangmatang, bantuan eksternal tak lagi diperlukan”. Dan Gus Dur sanggupmenjalaninya seorang diri dengan tegar, karena ia telah matang.
“La Yakhaf Laumata Laa-im” (ia tak pernah takut pada mata yangmembenci). Kata Gus Dur: “Di tempatkan di urutan manapun, Muhammad binAbdullah tetap saja sang penghulu para nabi dan utusan Tuhan, InsanKamil”.
Bagi Gus Dur semua manusia adalah sama, tak peduli dari mana asalusulnya, apa jenis kelamin mereka, warna kulit mereka, suku mereka, rasdan kebangsaan mereka. Yang Gus Dur lihat adalah bahwa mereka manusiaseperti dirinya dan yang lain. Yang ia lihat adalah niat balk danperbuatannya, seperti kata Nabi: “Tuhan tidak melihat tubuh danwajahmu, melainkan amal dan hatimu”.
Gus Dur bukan tidak paham bahwa ada yang keliru, ada yang tidak iasetujui atau ada yang salah dari mereka yang dibelanya. Gus tetap sajanembela mereka. la membela karena tubuh mereka diserang dan dilukaihanya karena baju agamanya yang berwarna lain, harta mereka dirampassemaunya, ekspresi-ekspresi diri mereka dihentikan secara paksa olehnegara atau direnggut dengan pedang oleh otoritas dominan dankehormatan mereka diinjak-injak. Padahal mereka tak melakukan apa-apa.Membela kehormatan adalah perjuangan besar.
Bagi Gus Dur, ekspresi¬ekspresi diri, personal, individual, yangdianggap sebagian orang sebagai tak bermoral, tak boleh melibatkanNegara, tak boleh diintervensi kekuasaan, tetapi harus diselesaikansendiri oleh masyarakat dengan cara-cara yang mereka miliki dan denganmengaji yang sungguh-sungguh, sampai khatam dan dengan ketulusan.
Bagi Gus Dur, keyakinan dan pikiran tak bisa dinamai tak bisa diberitanda. Pikiran adalah misteri yang tersembunyi. la bagaikan burung yangterbang di langit lepas. Tuhanlah yang menganugerahkan pikiran-pikiranpada hamba-hamba-Nya. Dialah Pemilik nafas setiap yang hidup dan Dialahyang akan menanyainya kelak, bila tiba masanya. Karena itu, hanyaDialah yang berhak menamainya dan menghakiminya, tidak yang lain. KataRumi dalam Fihi Ma Fihi :
“Tak ada kemampuanmu menjauhkan pikiran-pikiran itu meski dengan seratus ribu kali rekayasa berkeringat”.
Itulah sikap seorang yang telah memiliki batin yang bebas. ltulahsifat seorang sufi, seorang bijak-bestari yang jiwanya mampu menembuskedalaman makna kata-kata Tuhan. Kata-kata-Nya memiliki dan menyimpanberjuta makna dan tak terbatas. Pemaksaan atas pikiran dan keyakinanorang tak akan menghasilkan apa-apa, sia-sia, kecuali membuat orang dankeluarganya menjadi sakit, menderita, dan menghambat kemajuan orang danperadaban manusia. Tak ada cara lain untuk menundukkan orang lainkecuali melalui bicara manis, tanpa marah-marah dan dengan otak yangcerdas. Jika tak tunduk, biarkan masing-masing berjalansendiri-sendiri, sambil katakan saja “anda adalah anda dan aku adalahaku. Wassalam”.
Tindakan dan sikap itu, menurut Gus Dur, sesungguhnya telahdiajarkan oleh Islam dan para Nabi-nabi sejak ribuan tahun lalu. lasering mengutip sumber literature Islam klasik yang bicara mengenaihak-hak individu. Salah satunya adalah AI-Mustashfa, karya Imam AbuHamid al-Ghazali. Sufi besar ini mengatakan bahwa tujuan aturan agamaadalah memberikan jaminan keselamatan keyakinan orang, keselamatanfisik, keselamatan profesi, kehormatan tubuh dan pemilikan harta.Al-Ghazali menyebut lima prinsip dasar perlindungan ini sebagai“al-Kulliyyat al-Khams”. Orang sering menyebutnya “Magashid alSyari’ah” (tujuan-tujuan pengaturan kehidupan). Lima prinsip inimerupakan pemberian Tuhan pada setiap manusia yang tak ada seorangmanusiapun berhak mengurangi atau menghilangkannya. lnilah basisfundamental (al rukn al asasi) pikiran-pikiran dan Iangkah-langkah GusDur. Meskipun Gus Dur membaca dan mengerti, tetapi ia tidak mengutippandangan atau sumber dari Barat atau Yahudi, seperti dituduhkansebagian orang. Ia menggalinya dari sumber tradisi Islam sendiri, dania mampu menginterpretasikan dengan cara-cara yang memukau dan genuine,sejalan dengan konteks kehidupan yang selalu bergerak. Ia memang sangatkaya dengan referensi tradisi Islam klasik ini berikut perangkatanalisisnya: bahasa, sastra, logika, filsafat sosial, dan metode-metodekeilmuan.
Melalui penjagaan atas lima prinsip dasar kemanusiaan universaltersebut, Gus Dur memimpikan berkembang dan tersebarnya persaudaraanmanusia atas dasar kemanusiaan (ukhuwwah Insaniyyah), tanpa dibatasisekat-sekat primordial. Ini menurut saya sesungguhnya merupakan gagasanpara sufi besar. Para sufi yang sejumlah namanya disebutkan di atas,adalah orang-orang yang paling vocal menyuarakan gagasan pluralisme danpersaudaraan universal itu. Tak ada keraguan sedikitpun di hati merekapada prinsip utama agama bahwa tidak ada di alam semesta ini kecualiTuhan Yang Satu yang kehadapan-Nya seluruh yang mawjud tunduk. Danseluruh yang mawjud (ada) sejak ia ada sampai keberadaannya tercabut,selalu dan terus mencari-cari Dia melalui jalan dan bahasa yangberbeda-beda.
Maka kebhinekaan realitas alam semesta ini seharusnya tidakmenghalangi setiap manusia untuk memahami pikiran, bahasa dankehendak-kehendak manusia yang lainnya. Para sufi memandang alamsemesta yang beragam dan yang seluruhnya mengandung keindahan sebagai“tajalli” Tuhan, perwujudan rahmat dan keagungan-Nya di alam semesta.Keberanekaan berasal dari Tuhan. Dialah Sang Penciptanya. IbnuAthaillah, nama sufi besar yang dikagumi Gus Dur, banyak bicara soalKesatuan Semesta, meneruskan gagasan Ibnu Arabi.
Nah, lagi-lagi di sini kita menemukan jalan yang ditempuh Gus Dur.Gagasan-gagasan dan tindakan-tindakan pluralismenya ternyata berangkatdari tradisinya sendiri. la tekun mengaji kitab¬kitab klasik raksasadan primer sampai khatam.
Sayang, kitab-kitab ini amat jarang dibaca orang atau dibaca tetapihanya sampai kulit luar, yang tertulis, yang literal, harfiyah, dan takkhatam, tak selesai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar