Senin, 06 Desember 2010

Hasan Al-Bashri

Pada malam Jum’at, di awal Rajab tahun 110 H, Hasan AlBasri memenuhi panggilan Robbnya. Ia wafat dalam usia 80 tahun. Penduduk Basrah bersedih, hampir seluruhnya mengantarkan jenazah Hasan AlBasri ke pemakaman. Hari itu di Basrah tidak diselenggarakan sholat Ashar berjamaah, karena kota itu kosong tak berpenghuni....



----------

Suatu hari ummahatul mu’minin, Ummu Salamah, menerima khabar bahwa mantan "maula" (pembantu wanita)nya telah melahirkan seorang putera mungil yang sehat. Bukan main gembiranya hati Ummu Salamah mendengar berita tersebut. Diutusnya seseorang untuk mengundang bekas pembantunya itu untuk menghabiskan masa nifas di rumahnya.

Ibu muda yang baru melahirkan tersebut bernama Khairoh, orang yang amat disayangi oleh Ummu Salamah. Rasa cinta ummahatul mu’minin kepada bekas maulanya itu, membuat ia begitu rindu untuk segera melihat puteranya. Ketika Khairoh dan puteranya tiba, Ummu Salamah memandang bayi yang masih merah itu dengan penuh sukacita dan cinta. Sungguh bayi mungil itu sangat menawan. "Sudahkah kau beri nama bayi ini, ya Khairoh?" tanya Ummu Salamah. "Belum ya ibunda. Kami serahkan kepada ibunda untuk menamainya" jawab Khairoh. Mendengar jawaban ini, ummahatul mu’minin berseriseri, seraya berujar "Dengan berkah Allah, kita beri nama AlHasan." Maka do’apun mengalir pada si kecil, begitu selesai acara pemberian nama.

AlHasan bin Yasar-atau yang kelak lebih dikenal sebagai Hasan AlBasri, ulama generasi salaf terkemuka-hidup di bawah asuhan dan didikan salah seorang isteri Rasulullah SAW: Hind binti Suhail yang lebih terkenal sebagai Ummu Salamah. Beliau 
adalah seorang puteri Arab yang paling sempurna akhlaqnya dan paling kuat pendiriannya, ia juga dikenal - sebelum Islam - sebagai penulis yang produktif. Para ahli sejarah mencatat beliau sebagai yang paling luas ilmunya di antara para isteri Rasulullah SAW.

Waktu terus berjalan. Seiring dengan semakin akrabnya hubungan antara AlHasan dengan keluarga Nabi SAW, semakin terbentang luas kesempatan baginya untuk ber"uswah" (berteladan) pada keluarga Rasulullah SAW. Pemuda cilik ini mereguk ilmu dari rumahrumah ummahatul mu’minin serta mendapat kesempatan menimba ilmu bersama sahabat yang berada di masjid Nabawiy.

Ditempa oleh orangorang sholeh, dalam waktu singkat AlHasan mampu meriwayatkan hadist dari Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Musa AlAsy’ari, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik dan sahabatsahabat RasuluLlah lainnya. 
AlHasan sangat mengagumi Ali bin Abi Thalib, karena keluasan ilmunya serta kezuhudannya. Penguasan ilmu sastra Ali bin Abi Thalib yang demikian tinggi, katakatanya yang penuh nasihat dan hikmah, membuat AlHasan begitu terpesona. 

Pada usia 14 tahun, AlHasan pindah bersama orang tuanya ke kota Basrah, Iraq, dan menetap di sana. Dari sinilah AlHasan mulai dikenal dengan sebutan Hasan AlBasri. Basrah kala itu terkenal sebagai kota ilmu dalam Daulah Islamiyyah. Masjidmasjid 
yang luas dan cantik dipenuhi halaqahhalaqah ilmu. Para sahabat dan tabi’in banyak yang sering singgah ke kota ini.
Di Basrah, Hasan AlBasri lebih banyak tinggal di masjid, mengikuti halaqahnya Ibnu Abbas. Dari beliau, Hasan AlBasri banyak belajar ilmu tafsir, hadist dan qiro’at. Sedangkan ilmu fiqih, bahasa dan sastra dipelajarinya dari sahabatsahabat yang 
lain. Ketekunannya mengejar dan menggali ilmu menjadikan Hasan AlBasri sangat ‘alim dalam berbagai ilmu. Ia terkenal sebagai seorang faqih yang terpercaya.

Keluasan dan kedalaman ilmunya membuat Hasan AlBasri banyak didatangi orang yang ingin belajar langsung kepadanya. Nasihat Hasan AlBasri mampu menggugah hati seseorang, bahkan membuat para pendengarnya mencucurkan air mata. Nama Hasan AlBasri makin harum dan terkenal, menyebar ke seluruh negeri dan sampai pula ke telinga penguasa.

Ketika AlHajaj atsTsaqofi memegang kekuasan gubernur Iraq, ia terkenal akan kediktatorannya. Perlakuannya terhadap rakyat terkadang sangat melampaui batas. Nyaris tak ada seorang pun penduduk Basrah yang berani mengajukan kritik atasnya atau menentangnya. Hasan AlBasri adalah salah satu di antara sedikit penduduk Basrah yang berani mengutarakan kritik pada AlHajaj. Bahkan di depan AlHajaj sendiri, Hasan AlBasri pernah mengutarakan kritiknya yang amat pedas.

Saat itu tengah diadakan peresmian istana AlHajaj di tepian kota Basrah. Istana itu dibangun dari hasil keringat rakyat, dan kini rakyat diundang untuk menyaksikan peresmiannya. Saat itu tampillah Hasan AlBasri menyuarakan kritiknya terhadap AlHajaj:
"Kita telah melihat apaapa yang telah dibangun oleh AlHajaj. Kita juga telah mengetahui bahwa Fir’au membangun istana yang lebih indah dan lebih megah dari istana ini. Tetapi Allah menghancurkan istana itu … karena kedurhakaan dan kesombongannya …"
Kritik itu berlangsung cukup lama. Beberapa orang mulai cemas dan berbisik kepada Hasan AlBasri, "Ya Abu Sa’id, cukupkanlah kritikmu, cukuplah!" Namun beliau menjawab, "Sungguh Allah telah mengambil janji dari orangorang yang berilmu, supaya menerangkan kebenaran kepada manusia dan tidak menyembunyikannya."

Begitu mendengar kritik tajam tersebut, AlHajaj menghardik para ajudannya, "Celakalah kalian! Mengapa kalian biarkan budak dari Basrah itu mencaci maki dan bicara seenaknya? Dan tak seorangpun dari kalian mencegahnya? Tangkap dia, hadapkan kepadaku!" . 

Semua mata tertuju kepada sang Imam dengan hati bergetar. Hasan AlBasri berdiri tegak dan tenang menghadapi AlHajaj bersama puluhan polisi dan algojonya. Sungguh luar biasa ketenangan beliau. Dengan keagungan seorang mu’min, izzah seorang muslim dan ketenangan seorang da’i, beliau hadapi sang tiran.

Melihat ketenangan Hasan AlBasri, seketika kecongkakan AlHajaj sirna. Kesombongan dan kebengisannya hilang. Ia langsung menyambut Hasan AlBasri dan berkata lembut, "Kemarilah ya Abu Sa’id …" AlHasan mendekatinya dan duduk berdampingan. Semua mata memandang dengan kagum. 

Mulailah AlHajaj menanyakan berbagai masalah agama kepada sang Imam, dan dijawab oleh Hasan AlBasri dengan bahasa yang lembut dan mempesona. Semua pertanyaannya dijawab dengan tuntas. Hasan AlBasri dipersilakan untuk pulang. Usai pertemuan itu, seorang pengawal AlHajaj bertanya, "Wahai Abu Sa’id, sungguh aku melihat anda mengucapkan sesuatu ketika hendak berhadapan dengan AlHajaj. Apakah sesungguhnya kalimat yang anda baca itu?" Hasan AlBasri menjawab, "Saat itu kubaca: Ya Wali dan PelindungKu dalam kesusahan. Jadikanlah hukuman Hajaj sejuk dan keselamatan buatku, sebagaimana Engkau telah jadikan api sejuk dan menyelamatkan Ibrahim."

Nasihatnya yang terkenal diucapkannya ketika beliau diundang oleh penguasa Iraq, Ibnu Hubairoh, yang diangkat oleh Yazid bin Abdul Malik. Ibnu Hubairoh adalah seorang yang jujur dan sholeh, namun hatinya selalu gundah menghadapi perintahperintah Yazid yang bertentangan dengan nuraninya. Ia berkata, "Allah telah memberi kekuasan kepada Yazid atas hambanya dan mewajibkan kita untuk mentaatinya. Ia sekarang menugaskan saya untuk memerintah Iraq dan Parsi, namun kadangkadang perintahnya bertentangan dengan kebenaran. Ya, Abu Sa’id apa pendapatmu? Nasihatilah aku …"

Berkata Hasan AlBasri, "Wahai Ibnu Hubairoh, takutlah kepada Allah ketika engkau mentaati Yazid dan jangan takut kepada Yazidketika engkau mentaati Allah. Ketahuilah, Allah membelamu dari Yazid, dan Yazid tidak mampu membelamu dari siksa Allah. Wahai Ibnu Hubairoh, jika engkau mentaati Allah, Allah akan memeliharamu dari siksaan Yazid di dunia, akan tetapi jika engkau mentaati Yazid, ia tidak akan memeliharamu dari siksa Allah di dunia dan akhirat. Ketahuilah, tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam ma’siat kepada Allah, siapapun orangnya." Berderai air mata Ibnu Hubairoh mendengar nasihat Hasan AlBasri yang sangat dalam itu.

Pada malam Jum’at, di awal Rajab tahun 110 H, Hasan AlBasri memenuhi panggilan Robbnya. Ia wafat dalam usia 80 tahun. Penduduk Basrah bersedih, hampir seluruhnya mengantarkan jenazah Hasan AlBasri ke pemakaman. Hari itu di Basrah tidak diselenggarakan sholat Ashar berjamaah, karena kota itu kosong tak berpenghuni.

Hasan Al-Bashri

Pada malam Jum’at, di awal Rajab tahun 110 H, Hasan AlBasri memenuhi panggilan Robbnya. Ia wafat dalam usia 80 tahun. Penduduk Basrah bersedih, hampir seluruhnya mengantarkan jenazah Hasan AlBasri ke pemakaman. Hari itu di Basrah tidak diselenggarakan sholat Ashar berjamaah, karena kota itu kosong tak berpenghuni....


----------

Suatu hari ummahatul mu’minin, Ummu Salamah, menerima khabar bahwa mantan "maula" (pembantu wanita)nya telah melahirkan seorang putera mungil yang sehat. Bukan main gembiranya hati Ummu Salamah mendengar berita tersebut. Diutusnya seseorang untuk mengundang bekas pembantunya itu untuk menghabiskan masa nifas di rumahnya.

Ibu muda yang baru melahirkan tersebut bernama Khairoh, orang yang amat disayangi oleh Ummu Salamah. Rasa cinta ummahatul mu’minin kepada bekas maulanya itu, membuat ia begitu rindu untuk segera melihat puteranya. Ketika Khairoh dan puteranya tiba, Ummu Salamah memandang bayi yang masih merah itu dengan penuh sukacita dan cinta. Sungguh bayi mungil itu sangat menawan. "Sudahkah kau beri nama bayi ini, ya Khairoh?" tanya Ummu Salamah. "Belum ya ibunda. Kami serahkan kepada ibunda untuk menamainya" jawab Khairoh. Mendengar jawaban ini, ummahatul mu’minin berseriseri, seraya berujar "Dengan berkah Allah, kita beri nama AlHasan." Maka do’apun mengalir pada si kecil, begitu selesai acara pemberian nama.

AlHasan bin Yasar-atau yang kelak lebih dikenal sebagai Hasan AlBasri, ulama generasi salaf terkemuka-hidup di bawah asuhan dan didikan salah seorang isteri Rasulullah SAW: Hind binti Suhail yang lebih terkenal sebagai Ummu Salamah. Beliau 
adalah seorang puteri Arab yang paling sempurna akhlaqnya dan paling kuat pendiriannya, ia juga dikenal - sebelum Islam - sebagai penulis yang produktif. Para ahli sejarah mencatat beliau sebagai yang paling luas ilmunya di antara para isteri Rasulullah SAW.

Waktu terus berjalan. Seiring dengan semakin akrabnya hubungan antara AlHasan dengan keluarga Nabi SAW, semakin terbentang luas kesempatan baginya untuk ber"uswah" (berteladan) pada keluarga Rasulullah SAW. Pemuda cilik ini mereguk ilmu dari rumahrumah ummahatul mu’minin serta mendapat kesempatan menimba ilmu bersama sahabat yang berada di masjid Nabawiy.

Ditempa oleh orangorang sholeh, dalam waktu singkat AlHasan mampu meriwayatkan hadist dari Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Musa AlAsy’ari, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik dan sahabatsahabat RasuluLlah lainnya. 
AlHasan sangat mengagumi Ali bin Abi Thalib, karena keluasan ilmunya serta kezuhudannya. Penguasan ilmu sastra Ali bin Abi Thalib yang demikian tinggi, katakatanya yang penuh nasihat dan hikmah, membuat AlHasan begitu terpesona. 

Pada usia 14 tahun, AlHasan pindah bersama orang tuanya ke kota Basrah, Iraq, dan menetap di sana. Dari sinilah AlHasan mulai dikenal dengan sebutan Hasan AlBasri. Basrah kala itu terkenal sebagai kota ilmu dalam Daulah Islamiyyah. Masjidmasjid 
yang luas dan cantik dipenuhi halaqahhalaqah ilmu. Para sahabat dan tabi’in banyak yang sering singgah ke kota ini.
Di Basrah, Hasan AlBasri lebih banyak tinggal di masjid, mengikuti halaqahnya Ibnu Abbas. Dari beliau, Hasan AlBasri banyak belajar ilmu tafsir, hadist dan qiro’at. Sedangkan ilmu fiqih, bahasa dan sastra dipelajarinya dari sahabatsahabat yang 
lain. Ketekunannya mengejar dan menggali ilmu menjadikan Hasan AlBasri sangat ‘alim dalam berbagai ilmu. Ia terkenal sebagai seorang faqih yang terpercaya.

Keluasan dan kedalaman ilmunya membuat Hasan AlBasri banyak didatangi orang yang ingin belajar langsung kepadanya. Nasihat Hasan AlBasri mampu menggugah hati seseorang, bahkan membuat para pendengarnya mencucurkan air mata. Nama Hasan AlBasri makin harum dan terkenal, menyebar ke seluruh negeri dan sampai pula ke telinga penguasa.

Ketika AlHajaj atsTsaqofi memegang kekuasan gubernur Iraq, ia terkenal akan kediktatorannya. Perlakuannya terhadap rakyat terkadang sangat melampaui batas. Nyaris tak ada seorang pun penduduk Basrah yang berani mengajukan kritik atasnya atau menentangnya. Hasan AlBasri adalah salah satu di antara sedikit penduduk Basrah yang berani mengutarakan kritik pada AlHajaj. Bahkan di depan AlHajaj sendiri, Hasan AlBasri pernah mengutarakan kritiknya yang amat pedas.

Saat itu tengah diadakan peresmian istana AlHajaj di tepian kota Basrah. Istana itu dibangun dari hasil keringat rakyat, dan kini rakyat diundang untuk menyaksikan peresmiannya. Saat itu tampillah Hasan AlBasri menyuarakan kritiknya terhadap AlHajaj:
"Kita telah melihat apaapa yang telah dibangun oleh AlHajaj. Kita juga telah mengetahui bahwa Fir’au membangun istana yang lebih indah dan lebih megah dari istana ini. Tetapi Allah menghancurkan istana itu … karena kedurhakaan dan kesombongannya …"
Kritik itu berlangsung cukup lama. Beberapa orang mulai cemas dan berbisik kepada Hasan AlBasri, "Ya Abu Sa’id, cukupkanlah kritikmu, cukuplah!" Namun beliau menjawab, "Sungguh Allah telah mengambil janji dari orangorang yang berilmu, supaya menerangkan kebenaran kepada manusia dan tidak menyembunyikannya."

Begitu mendengar kritik tajam tersebut, AlHajaj menghardik para ajudannya, "Celakalah kalian! Mengapa kalian biarkan budak dari Basrah itu mencaci maki dan bicara seenaknya? Dan tak seorangpun dari kalian mencegahnya? Tangkap dia, hadapkan kepadaku!" . 

Semua mata tertuju kepada sang Imam dengan hati bergetar. Hasan AlBasri berdiri tegak dan tenang menghadapi AlHajaj bersama puluhan polisi dan algojonya. Sungguh luar biasa ketenangan beliau. Dengan keagungan seorang mu’min, izzah seorang muslim dan ketenangan seorang da’i, beliau hadapi sang tiran.

Melihat ketenangan Hasan AlBasri, seketika kecongkakan AlHajaj sirna. Kesombongan dan kebengisannya hilang. Ia langsung menyambut Hasan AlBasri dan berkata lembut, "Kemarilah ya Abu Sa’id …" AlHasan mendekatinya dan duduk berdampingan. Semua mata memandang dengan kagum. 

Mulailah AlHajaj menanyakan berbagai masalah agama kepada sang Imam, dan dijawab oleh Hasan AlBasri dengan bahasa yang lembut dan mempesona. Semua pertanyaannya dijawab dengan tuntas. Hasan AlBasri dipersilakan untuk pulang. Usai pertemuan itu, seorang pengawal AlHajaj bertanya, "Wahai Abu Sa’id, sungguh aku melihat anda mengucapkan sesuatu ketika hendak berhadapan dengan AlHajaj. Apakah sesungguhnya kalimat yang anda baca itu?" Hasan AlBasri menjawab, "Saat itu kubaca: Ya Wali dan PelindungKu dalam kesusahan. Jadikanlah hukuman Hajaj sejuk dan keselamatan buatku, sebagaimana Engkau telah jadikan api sejuk dan menyelamatkan Ibrahim."

Nasihatnya yang terkenal diucapkannya ketika beliau diundang oleh penguasa Iraq, Ibnu Hubairoh, yang diangkat oleh Yazid bin Abdul Malik. Ibnu Hubairoh adalah seorang yang jujur dan sholeh, namun hatinya selalu gundah menghadapi perintahperintah Yazid yang bertentangan dengan nuraninya. Ia berkata, "Allah telah memberi kekuasan kepada Yazid atas hambanya dan mewajibkan kita untuk mentaatinya. Ia sekarang menugaskan saya untuk memerintah Iraq dan Parsi, namun kadangkadang perintahnya bertentangan dengan kebenaran. Ya, Abu Sa’id apa pendapatmu? Nasihatilah aku …"

Berkata Hasan AlBasri, "Wahai Ibnu Hubairoh, takutlah kepada Allah ketika engkau mentaati Yazid dan jangan takut kepada Yazidketika engkau mentaati Allah. Ketahuilah, Allah membelamu dari Yazid, dan Yazid tidak mampu membelamu dari siksa Allah. Wahai Ibnu Hubairoh, jika engkau mentaati Allah, Allah akan memeliharamu dari siksaan Yazid di dunia, akan tetapi jika engkau mentaati Yazid, ia tidak akan memeliharamu dari siksa Allah di dunia dan akhirat. Ketahuilah, tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam ma’siat kepada Allah, siapapun orangnya." Berderai air mata Ibnu Hubairoh mendengar nasihat Hasan AlBasri yang sangat dalam itu.

Pada malam Jum’at, di awal Rajab tahun 110 H, Hasan AlBasri memenuhi panggilan Robbnya. Ia wafat dalam usia 80 tahun. Penduduk Basrah bersedih, hampir seluruhnya mengantarkan jenazah Hasan AlBasri ke pemakaman. Hari itu di Basrah tidak diselenggarakan sholat Ashar berjamaah, karena kota itu kosong tak berpenghuni.

Robi'ah Al Adawiyah

Seberkas cahaya memancar dari bayi yang baru saja dilahirkan tanpa bantuan siapa-siapa. “Ya Allah,” seru Ismail, “anakku, Rabiah, telah datang membawa sinar yang akan menerangi alam di sekitarnya.” Lalu Ismail menggumam, “Amin.” Tetapi berkas cahaya yang membungkus bayi kecil itu tidak membuat keluarganya terlepas dari belitan kemiskinan....

----------

Pada suatu hari seorang lelaki datang kepada Rabiah dan bertanya, “Saya ini telah banyak melakukan dosa. Maksiat saya bertimbun melebihi gunung-gunung. Andaikata saya bertobat, apakah Allah akan menerima tobat saya?” “Tidak,” jawab Rabiah dengan suara tegas. Pada kali yang lain seorang lelaki datang pula kepadanya. Lelaki itu berkata, “Seandainya tiap butir pasir itu adalah dosa, maka seluas gurunlah tebaran dosa saya. Maksiat apa saja telah saya lakukan, baik yang kecil maupun yang besar. Tetapi sekarang saya sudah menjalani tobat. Apakah Tuhan menerima tobat saya?” “Pasti,” jawab Rabiah tak kalah tegas. Lalu ia menjelaskan, “Kalau Tuhan tidak berkenan menerima tobat seorang hamba, apakah mungkin hamba itu tergerak menjalani tobat? Untuk berhenti dari dosa, jangan simpan kata “akan” atau “andaikata” sebab hal itu akan merusak ketulusan niatmu.”

Memang ucapan sufi perempuan itu seringkali menyakitkan telinga bagi mereka yang tidak memahami jalan pikirannya. Ia seorang mistisi yang sangat tinggi derajatnya dan tergolong kelompok sufi periode awal. Ia memperkaya literatur Islam dengan kisah-kisah pengalaman mistiknya dalam sajak-sajak berkualitas tinggi.

Sesungguhnya ia lebih dikenal sebagai seorang pendiri ‘agama cinta’ (mahabbah) dan ia pun dikenang sebagai ‘ibu para Sufi besar’ (The Mother of the Grand Master). Siapa sebenarnya ia yang kepergiannya dielu-elukan kaum ‘suci’ itu? Tiada lain ia adalah tokoh wanita bernama Rabiah Basri atau lebih dikenal sebagai Rabiah Al Adawiyah Al Bashriyah, lahir pada tahun 713 M di Basrah (Irak), dari keluarga yang hina dina.

Sebagai anak keempat. Itu sebabnya ia diberi nama Rabiah. Bayi itu dilahirkan ketika orang tuanya hidup sangat sengsara meskipun waktu itu kota Bashrah bergelimang dengan kekayaan dan kemewahan. Tidak seorang pun yang berada di samping ibunya, apalagi menolongnya, karena ayahnya, Ismail, tengah berusaha meminta bantuan kepada para tetangganya.

Namun, karena saat itu sudah jauh malam, tidak seorang pun dari mereka yang terjaga. Dengan lunglai Ismail pulang tanpa hasil, padahal ia hanya ingin meminjam lampu atau minyak tanah untuk menerangi istrinya yang akan melahirkan. Dengan perasaan putus asa Ismail masuk ke dalam biliknya. Tiba-tiba matanya terbelak gembira menyaksikan apa yang terjadi di bilik itu.

Seberkas cahaya memancar dari bayi yang baru saja dilahirkan tanpa bantuan siapa-siapa. “Ya Allah,” seru Ismail, “anakku, Rabiah, telah datang membawa sinar yang akan menerangi alam di sekitarnya.” Lalu Ismail menggumam, “Amin.” Tetapi berkas cahaya yang membungkus bayi kecil itu tidak membuat keluarganya terlepas dari belitan kemiskinan. Ismail tetap tidak punya apa-apa kecuali tiga kerat roti untuk istrinya yang masih lemah itu. Ia lantas bersujud dalam salat tahajud yang panjang, menyerahkan nasib dirinya dan seluruh keluarganya kepada Yang Menciptakan Kehidupan.

Sekonyong-konyong ia seolah berada dalam lautan mimpi manakala gumpalan cahaya yang lebih benderang muncul di depannya, dan setelah itu Rasul hadir bagaikan masih segar-bugar. Kepada Ismail, Rasulullah bersabda, “Jangan bersedih, orang salih. Anakmu kelak akan dicari syafaatnya oleh orang-orang mulia. Pergilah kamu kepada penguasa kota Bashrah, dan katakan kepadanya bahwa pada malam Jumat yang lalu ia tidak melakukan salat sunnah seperti biasanya. Katakan, sebagai kifarat atas kelalaiannya itu, ia harus membayar satu dinar untuk satu rakaat yang ditinggalkannya.

Ketika Ismail mengerjakan seperti yang diperintahkan Rasulullah dalam mimpinya, Isa Zadan, penguasa kota Bashrah itu, terperanjat. Ia memang biasa mengerjakan salat sunnah 100 rakaat tiap malam, sedangkan saban malam Jumat ia selalu mengerjakan 400 rakaat. Oleh karena itu, kepada Ismail diserahkannya uang sebanyak 400 dinar sesuai dengan jumlah rakaat yang ditinggalkannya pada malam Jumat yang silam. Itulah sebagian dari tanda-tanda karamah Rabiah al-Adawiyah, seorang sufi perempuan dari kota Bashrah, yang di hatinya hanya tersedia cinta kepada Tuhan. Begitu agungnya cinta itu bertaut antara hamba dan penciptanya sampai ia tidak punya waktu untuk membenci atau mencintai, untuk berduka atau bersuka cita selain dengan Allah.

Ismail dan istrinya meninggal ketika Rabiah masih kecil. Begitu pula ketiga kakak Rabiah, meninggal ketika wabah kelaparan melanda kota Basrah. Dalam kesendirian itu, akhirnya Rabiah jatuh ke tangan orang yang kejam, yang lalu menjualnya sebagai budak belian dengan harga sangat murah. Majikan barunya pun tak kalah bengisnya dibandingkan dengan majikan sebelumnya.

Setelah bebas, Rabiah pergi ke tempat tempat sunyi untuk menjalani hidup dengan bermeditasi, dan akhirnya sampailah ia di sebuah gubuk dekat Basra. Di sini ia hidup bertapa. Sebuah tikar butut, sebuah kendil dari tanah, dan sebuah batu bata, adalah harta yang ia punyai dan teman dalam menjalani hidup kepertapaan.

Praktis sejak saat itu, seluruh hidupnya hanya ia abdikan pada Allah swt. Berdoa dan berzikir adalah hiasan hidupnya. Saking sibuknya mengurus ‘akhirat’, ia lalai dengan urusan duniawi, termasuk membangun rumah tangga. Meski banyak pinangan datang, termasuk dari gubernur Basra dan seorang suci mistis terkenal, Hasan Basri, Rabiah tetap tak tertarik untuk mengakhiri masa lajangnya. Hal ini ia jalani hingga akhir hayatnya, pada tahun 801 M.

Dalam perjalanan kesufian Rabiah, kesendirian, kesunyian, kesakitan, hingga penderitaan tampak lumer jadi satu; ritme heroik menuju cinta kepada Sang Ada (The Ultimate Being). Tak heran jika ia ‘merendahkan manusia’ dan mengabdi pada dorongan untuk meraih kesempurnaan tertinggi. Ia jelajahi ranah mistik, yang jadi wilayah dalam dari agama, hingga mendapatkan eloknya cinta yang tidak dialami oleh kaum Muslim formal.

Menjadi Sufi dalam perjalanan Rabiah adalah “berlalu dari sekadar Ada menjadi benar benar Ada”. Sufisme Rabiah merupakan pilihan dari jebakan-jebakan ciptaan yang tak berguna. Karena demikian mendalam cintanya kepada Allah, Rabiah sampai tidak menyisakan sejengkal pun rasa cintanya untuk manusia. Sufyan Tsauri, seorang Sufi yang hidup semasa dengannya, sempat terheran-heran dengan sikap Rabiah. Pasalnya, Sufyan pernah melihat bagaimana Rabiah menolak cinta seorang pangeran yang kaya raya demi cintanya kepada Allah. Dia tidak tergoda dengan kenikmatan duniawi, apalagi harta.

Cinta Rabiah tak dapat disebut sebagai cinta yang mengharap balasan. Justru, yang dia tempuh adalah perjalanan mencapai ketulusan. Sesuatu yang dianggap sebagai ladang subur bagi pemuas rasa cintanya yang luas, dan sering tak terkendali tersebut. Lewat sebuah doa yang mirip syair, ia berujar, “Jika aku menyembah-Mu karena takut pada api neraka maka masukkan aku di dalamnya! Dan jika aku menyembah-Mu karena tamak kepada surga-Mu, maka haramkanlah aku daripadanya! Tetapi jika aku menyembah-Mu karena kecintaanku kepada-Mu, maka berikanlah aku balasan yang besar, berilah aku kesempatan untuk melihat wajah-Mu yang Maha Besar dan Maha Mulia itu.”

Perjalanan hidup Rabiah diwarnai dengan kekaribannya dengan situasi yang penuh keterbatasan; tinggal bersama kedua orang tua dan saudara saudaranya, dijual sebagai budak, menghamba pada tuannya hingga dibebaskan dari perbudakan, lalu hidup mengembara. Periode pertama ini dikenal sebagai periode asketik Rabiah.

Fariduddin al-Attar menceritakan dalam kitab Taz-kiratul Auliya bahwa Rabiah pandai sekali meniup seruling. Untuk jangka waktu tertentu ia menopang hidupnya dengan bermain musik. Namun, kemudian ia memanfaatkan kepandaiannya untuk mengiringi para sufi yang sedang berzikir dalam upayanya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Selain itu ia mengunjungi masjid-masjid, dari pagi sampai larut malam. Namun, lantaran ia merasa dengan cara itu Tuhan tidak makin menghampirinya, maka ditinggalkannya semua itu.

Ia tidak lagi meniup seruling, dan ia tidak lagi mendatangi masjid-masjid. Ia menghabiskan waktu dengan beribadah dan berzikir. Periode yang kedua ini disebut sebagai periode Sufi, suatu periode tatkala Rabiah telah mencapai mahabbattullah (cinta pada Allah) sampai meninggal dan dipuji sebagai Testimony of Belief (Bukti Keimanan).

Doris Lessing, seorang pengamat perjalanan hidup Rabiah, memberi kesimpulan bahwa sufisme tokoh wanita ini adalah bentuk sufisme cinta. Sejenis sufisme yang menempatkan cinta (mahabbah) sebagai panggilan jiwanya. Sufisme yang tak bermaksud larut dalam ekstatik (gairah yang meluap) serta tak berdimensi pemujaan atau pemuliaan dan metode-metode tambahan yang penuh dengan sakramen.

Kendati demikian, pengalaman Rabiah adalah pengalaman orang suci yang sulit ditiru oleh awam. Memahami Rabiah sangat sulit. Seperti masa hidupnya, Rabiah tampaknya jauh dari kita. Selain itu, kesempurnaan yang menyertainya tak mungkin dapat ditandingi oleh orang-orang biasa.

Apa yang dilakukan Rabiah dalam hidupnya sebetulnya adalah ikhtiar untuk membiasakan diri ‘bertemu’ dengan pencipta-Nya. Di situlah ia memperoleh kehangatan, kesyahduan, kepastian, dan kesejatian hidup. Sesuatu yang kini sangat dirindukan oleh manusia modern. Karena itu, menjadi pemuja Tuhan adalah obsesi Rabiah yang tidak pernah mengenal tepi dan batas. Tak heran jika dunia yang digaulinya bebas dari perasaan benci. Seluruhnya telah diberikan untuk sebuah cinta.

Meskipun hidup Rabiah seperti berlangsung linear dan konstan, seluruh energi hidupnya dia abdikan untuk cinta, Rabiah memberi tahu kepada kita bahwa hidup memang tidak sederhana, seperti yang dijalaninya. Hidup itu begitu rumit, kadang kadang ada kemesraan dan kadang-kadang ada kehidmatan bertahta.

Rabiah wafat dengan meninggalkan pengalaman sufistik yang tak terhingga artinya. Hikmah yang ditinggalkan sangat berharga dan patut kita gali sebagai ‘makrifat’ hidup.

Menarik kita simak beberapa doa Rabiah yang dipanjatkan pada waktu larut malam, di atas atap rumahnya: “O Tuhanku, bintang-bintang bersinar gemerlapan, manusia telah tidur nyenyak, dan raja-raja telah menutup pintunya, tiap orang yang bercinta sedang asyik masyuk dengan kesayangannya, dan di sinilah aku sendirian bersama Engkau.”

Jika fajar telah merekah dan serat-serat cahaya menebari cakrawala, Rabiah pun berdoa dengan khusyuk, “Ya, illahi. Malam telah berlalu, dan siang menjelang datang. Aduhai, seandainya malam tidak pernah berakhir, alangkah bahagianya hatiku sebab aku dapat selalu bermesra-mesra dengan-Mu. illahi, demi kemuliaan-Mu, walaupun Kautolak aku mengetuk pintu-Mu, aku akan senantiasa menanti di depan pintu karena cintaku telah terikat dengan-Mu.”

Lantas, jika Rabiah membuka jendela kamarnya, dan alam lepas terbentang di depan matanya, ia pun segera berbisik, “Tuhanku. Ketika kudengar margasatwa berkicau dan burung-burung mengepakkan sayapnya, pada hakikatnya mereka sedang memuji-Mu. Pada waktu kudengar desauan angin dan gemericik air di pegunungan, bahkan manakala guntur menggelegar, semuanya kulihat sedang menjadi saksi atas keesaan-Mu.

Tentang masa depannya ia pernah ditanya oleh Sufyan Tsauri: “Apakah engkau akan menikah kelak?” Rabiah mengelak, “Pernikahan merupakan kewajiban bagi mereka yang mempunyai pilihan. Padahal aku tidak mempunyai pilihan kecuali mengabdi kepada Allah.” “Bagaimanakah jalannya sampai engkau mencapai martabat itu?” “Karena telah kuberikan seluruh hidupku,” ujar Rabiah. “Mengapa bisa kaulakukan itu, sedangkan kami tidak?” Dengan tulus Rabiah menjawab, “Sebab aku tidak mampu menciptakan keserasian antara perkawinan dan cinta kepada Tuhan.”

Sabtu, 04 Desember 2010

Sulthonul Auliya Syeikh Abdul Qadir Al-Jilani

KAROMAH-KAROMAH SULTHONUL AULIYA SYEIKH ABDUL QODIR AL-JILANI

Syekh Abdur Qadir Jailani adalah adalah imam yang zuhud dari kalangan sufi. Beliau lahir tahun 470 H di Baghdad dan mendirikan tariqat al-Qadiriyah. Diantara tulisan beliau antara lain kitab Al-Fathu Ar-Rabbani, Al-Ghunyah li Thalibi Thariq Al-Haq dan Futuh Al-Ghaib. Tahun wafat beliau tercatat tahun 561 H bertepatan dengan 1166 M. Beliau adalah seorang yang shalih . Bila dirunut ke atas dari nasabnya, beliau masih keturunan dari Ali bin Abi Talib. Nama lengkap beliau adalah Abu Shalih Sayidi Abdul Qodir bin Musa bin Abdullah bin Yahya Az-zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa Al-Jun bin Abdullah Al-Mahdhi bin Hasan al-Mutsana bin Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra.
Jumlah karomah yang dimiliki oleh asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani banyak sekali:
Syaikh Abil AbbasAhmad ibn Muhammadd ibn Ahmad al-Urasyi al-Jily:
Pada suatu hari, aku telah menghadiri majlis asy-Sayikh Abdul Qodir al-Jilani berserta
murid-muridnya yang lain. Tiba-tiba, muncul seekor ular besar di pangkuan asy-Syaikh. Maka orang ramai yang hadir di majlis itu pun berlari tunggang langgang, ketakutan. Tetapi asy-Syaikh al-Jilani hanya duduk dengan tenang saja. Kemudian ular itu pun masuk ke dalam baju asy-Syaikh dan telah merayap-rayap di badannya. Setelah itu, ular
itu telah naik pula ke lehernya. Namun, asy-Syaikh masih tetap tenang dan tidak berubah keadaan duduknya. Setelah beberapa waktu berlalu, turunlah ular itu dari badan asy-Syaikh dan ia telah seperti bicara dengan asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani . Setelah itu, ular itu pun ghaib. Kami pun bertanya kepada asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani tentang apa yang telah dipertuturkan oleh ular itu. Menurut beliau ular itu telah berkata bahwa dia telah menguji wali-wali Allah yang lain, tetapi dia tidak pernah bertemu dengan
seorang pun yang setenang dan sehebat asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani .
Pada suatu hari, ketika asy-Syaikh sedang mengajar murid-muridnya di dalam sebuah majlis, seekor burung telah terbang di udara di atas majlis itu sambil mengeluarkan satu bunyi yang telah mengganggu majlis itu. Maka asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pun berkata, “Wahai angin, ambil kepala burung itu.” Seketika itu juga, burung itu telah
jatuh ke atas majlis itu, dalam keadaan kepalanya telah terputus dari badannya.
Setelah melihat keadaan burung itu, asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pun turun dari kursi tingginya dan mengambil badan burung itu, lalu disambungkan kepala burung itu ke badannya. Kemudian asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani telah berkata, “Bismillaahirrahmaanirrahim.” Dengan serta-merta burung itu telah hidup kembali dan
terus terbang dari tangan asy-Syaikh.
Maka takjublah para hadirin di majlis itu karena melihat kebesaran Allah yang telah ditunjukkanNya melalui tangan asy-Syaikh.
Telah diceritakan di dalam sebuah riwayat:
Pada suatu hari, di dalam tahun 537 Hijrah,seorang lelaki dari kota Baghdad (dikatakan oleh setengah perawi bahawa lelaki itu bernama Abu Sa‘id ‘Abdullah ibn Ahmad ibn ‘Ali ibn Muhammad al-Baghdadi) telah datang bertemu dengan asy-Syaikh Jilani, berkata, bahwa dia mempunyai seorang anak dara cantik berumur enam belas tahun bernama Fatimah. Anak daranya itu telah diculik (diterbangkan) dari atas anjung rumahnya oleh
seorang jin. Maka asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pun menyuruh lelaki itu pergi pada malam hari itu, ke suatu tempat bekas rumah roboh, di satu kawasan lama di kota Baghdad bernama al-Karkh.
“Carilah bonggol yang kelima, dan duduklah di situ. Kemudian, gariskan satu bulatan sekelilingmu di atas tanah. Kala engkau membuat garisan, ucapkanlah “Bismillah, dan di atas niat asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani ” Apabila malam telah gelap, engkau akan didatangi oleh beberapa kumpulan jin,
dengan berbagai-bagai rupa dan bentuk. Janganlah engkau takut. Apabila waktu hampir terbit fajar, akan datang pula raja jin dengan segala angkatannya yang besar. Dia akan bertanya hajatmu. Katakan kepadanya yang aku telah menyuruh engkau datang bertemu dengannya. Kemudian ceritakanlah kepadanya tentang kejadian yang telah menimpa anak
perempuanmu itu.”
Lelaki itu pun pergi ke tempat itu dan melaksanakan arahan asy-Syaikh Abdul Qodir
Al-Jilani itu. Beberapa waktu kemudian, datanglah jin-jin yang coba menakut-nakutkan lelaki itu, tetapi jin-jin itu tidak berkuasa untuk melintasi garis bulatan itu. Jin-jin itu telah datang bergilir-gilir, yakni satu kumpulan selepas satu kumpulan. Dan akhirnya, Datanglah raja jin yang sedang menunggang seekor kuda dan telah disertai oleh satu angkatan yang besar dan hebat rupanya.
Raja jin itu telah memberhentikan kudanya di luar garis bulatan itu dan telah bertanya kepada lelaki itu, “Wahai manusia, apakah hajatmu?”Lelaki itu telah menjawab, “Aku telah disuruh oleh asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani untuk bertemu denganmu.”
Begitu mendengar nama asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani diucapkan oleh lelaki itu, raja jin itu telah turun dari kudanya dan terus mengucup bumi. Kemudian raja jin itu telah duduk di atas bumi, disertai dengan seluruh anggota rombongannya. Sesudah itu, raja jin itu telah bertanyakan masalah lelaki itu. Lelaki itu pun menceritakan kisah anak daranya yang telah diculik oleh seorang jin. Setelah mendengar cerita lelaki itu, raja jin itu pun memerintahkan agar dicari si jin yang bersalah itu. Beberapa waktu kemudian, telah
dibawa ke hadapan raja jin itu, seorang jin lelaki dari negara Cina bersama-sama dengan anak dara manusia yang telah diculiknya.Raja jin itu telah bertanya, “Kenapakah engkau
sambar anak dara manusia ini? Tidakkah engkau tahu yang dia ini berada di bawah naungan al-Quthb ?”
Jin lelaki dari negara Cina itu telah mengatakan yang dia telah jatuh berahi dengan anak dara manusia itu. Raja jin itu pula telah memerintahkan agar dipulangkan perawan itu kepada bapanya, dan jin dari negara Cina itu pula telah dikenakan hukuman pancung kepala. Lelaki itu pun mengatakan rasa takjubnya dengan segala perbuatan raja jin itu, yang sangat patuh kepada asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani.
Raja jin itu berkata pula, “Sudah tentu, karena asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani boleh melihat dari rumahnya semua kelakuan jin-jin yang jahat.
Dan mereka semua sedang berada di sejauh-jauh tempat di atas bumi, karena telah lari dari sebab kehebatannya. Allah Ta’ala telah menjadikan asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani bukan saja al-Qutb bagi umat manusia, bahkan juga ke atas seluruh bangsa jin.”
Telah bercerita asy-Syaikh Abi ‘Umar ‘Uthman dan asy-Syaikh Abu Muhammad ‘Abdul Haqq al-Huraimy: Pada 3 hari bulan Safar, kami berada di sisi asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani Pada waktu itu, asy-Syaikh sedang mengambil wudu dan memakai sepasang terompah. Setelah selesai menunaikan solat dua rakaat, dia telah bertempik dengan
tiba-tiba, dan telah melemparkan salah satu dari terompah-terompah itu dengan sekuat tenaga sampai tak nampak lagi oleh mata. Selepas itu, dia telah bertempik sekali lagi, lalu melemparkan terompah yang satu lagi. Kami yang berada di situ, telah melihat dengan ketakjubannya, tetapi tidak ada seorang pun yang telah berani menanyakan maksud
semua itu. Dua puluh tiga hari kemudian, sebuah kafilah telah datang untuk menziarahi asy-Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jilany. Mereka (yakni para anggota kafilah itu) telah membawa hadiah-hadiah untuknya, termasuk baju, emas dan perak. Dan yang anehnya, termasuk juga sepasang terompah. Apabila kami amat-amati, kami lihat terompah-terompah itu adalah terompah-terompah yang pernah dipakai oleh asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pada satu masa dahulu. Kami pun bertanya kepada ahli-ahli kafilah
itu, dari manakah datangnya sepasang terompah itu. Inilah cerita mereka:
Pada 3 haribulan Safar yang lalu, ketika kami sedang di dalam satu perjalanan, kami telah
diserang oleh satu kumpulan perompak. Mereka telah merampas kesemua barang-barang kami dan telah membawa barang-barang yang mereka rampas itu ke satu lembah untuk dibagi-bagikan di antara mereka. Kami pun berbincang sesama sendiri dan telah
mencapai satu keputusan. Kami lalu menyeru asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani agar menolong kami. Kami juga telah bernazar apabila kami sudah selamat, kami akan memberinya beberapa hadiah. Tiba-tiba, kami terdengar satu jeritan yang amat
kuat, sehingga menggegarkan lembah itu dan kami lihat di udara ada satu benda yang sedang melayang dengan sangat laju sekali. Beberapa waktu kemudian, terdengar satu lagi bunyi yang sama dan kami lihat satu lagi benda seumpama tadi yang sedang melayang ke arah yang sama. Selepas itu, kami telah melihat perompak-perompak
itu berlari lintang-pukang dari tempat mereka sedang membagi-bagikan harta rampasan itu dan telah meminta kami mengambil balik harta kami,karena mereka telah ditimpa satu kecelakaan. Kami pun pergi ke tempat itu. Kami lihat kedua orang pemimpin perompak itu telah mati. Di sisi mereka pula, ada sepasang terompah. Inilah terompah-terompah itu.
Telah bercerita asy-Syaikh Abduh Hamad ibn Hammam:
Pada mulanya aku memang tidak suka kepada asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani. Walaupun aku merupakan seorang saudagar yang paling kaya di kota Baghdad waktu itu, aku tidak pernah merasa tenteram ataupun berpuas hati.Pada suatu hari, aku telah pergi menunaikan solat Jum’at. Ketika itu, aku tidak mempercayai tentang cerita-cerita karomah yang dikaitkan pada asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani. Sesampainya aku
di masjid itu, aku dapati beliau telah ramai dengan jamaah. Aku mencari tempat yang tidak terlalu ramai, dan kudapati betul-betul di hadapan mimbar.
Di kala itu, asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani baru saja mulai untuk khutbah Jumaat. Ada beberapa perkara yang disentuh oleh asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani yang telah menyinggung perasaanku.Tiba-tiba, aku terasa hendak buang air besar. Untuk keluar dari masjid itu memang sukar dan agak mustahil. Dan aku dihantui perasaan gelisah dan
malu, takut-takut aku buang air besar di sana di depan orang banyak. Dan kemarahanku terhadap asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pun bertambah dan memuncak.
Pada saat itu, asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani telah turun dari atas mimbar itu dan telah berdiri di hadapanku. Sambil beliau terus memberikan khutbah, beliau telah menutup tubuhku dengan jubahnya. Tiba-tiba aku sedang berada di satu tempat yang lain, yakni di satu lembah hijau yang sangat indah. Aku lihat sebuah anak sungai sedang mengalir perlahan di situ dan keadaan sekelilingnya sunyi sepi, tanpa kehadiran seorang manusia. Aku pergi membuang air besar. Setelah selesai, aku mengambil wudlu. Apabila aku sedang berniat untuk pergi bersolat, dan tiba-tiba diriku telah berada ditempat semula di bawah jubah asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani. Dia telah mengangkat jubahnya dan
menaiki kembali tangga mimbar itu.
Aku sungguh-sungguh merasa terkejut. Bukan karena perutku sudah merasa lega, tetapi juga keadaan hatiku. Segala perasaan marah, ketidakpuasan hati, dan perasaan-perasaan jahat yang lain, semuanya telah hilang.
Selepas sembahyang Jum’at berakhir, aku pun pulang ke rumah. Di dalam perjalanan, aku menyadari bahwa kunci rumahku telah hilang. Dan aku kembali ke masjid untuk mencarinya. Begitu lama aku mencari, tetapi tidak aku temukan, terpaksa aku menyuruh
tukang kunci untuk membuat kunci yang baru.Pada keesokan harinya, aku telah meninggalkan Baghdad dengan rombonganku karena urusan perniagaan. Tiga hari kemudian, kami telah melewati satu lembah yang sangat indah.
Seolah-olah ada satu kuasa ajaib yang telah menarikku untuk pergi ke sebuah anak sungai. Barulah aku teringat bahwa aku pernah pergi ke sana untuk buang air besar, beberapa hari sebelum itu. Aku mandi di anak sungai itu. Ketika aku sedang mengambil jubahku, aku telah temukan kembali kunciku, yang rupa-rupanya telah tertinggal dan telah tersangkut pada sebatang dahan di situ.
Setelah aku sampai di Baghdad, aku menemui asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani dan menjadi anak muridnya.
Telah bercerita asy-Syaikh ‘Adi ibn Musafir al-Hakkar:
Aku pernah berada di antara ribuan hadirin yang telah berkumpul untuk mendengar pengajian asy-Syaikh. Ketika asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani sedang berbicara, tiba-tiba hujan turun dengan lebat. Beberapa orang pun berlari meninggalkan tempat itu. Langit kala itu sedang diliputi awan hitam yang menandakan hujan akan terus turun dengan lebat. Aku melihat asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani mendongak ke langit dan
mengangkat tangannya serta berdoa, “Ya Robbi! Aku telah mengumpulkan manusia karenaMu, adakah kini Engkau akan menghalau mereka daripadaku?”
Setelah asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani berdoa, hujan pun berhenti. Tidak setitik hujan yang jatuh ke atas kami, pada hal di sekeliling kami hujan masih terus turun dengan deras.Telah diceritakan di dalam sebuah riwayat:
Pada suatu hari, isteri-isteri asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani telah bertemu dengannya dan telah berkata, “Wahai suami kami yang terhormat, anak lelaki kecil kita telah meninggal dunia. Namun kami tidak melihat setitik air mata pun yang mengalir dari mata kekanda dan tidak pula kekanda menunjukkan tanda kesedihan. Tidakkah kekanda
menyimpan rasa belas kasihan terhadap anak lelaki kita, yang merupakan sebagian darah daging kekanda sendiri? Kami semua sedang dirundung kesedihan,namun kekanda masih juga meneruskan pekerjaan biasa kekanda, seolah-olah tiada sesuatu pun yang telah berlaku. Kekanda adalah pemimpin dan pelindung kami di dunia dan di akhirat. Tetapi
jika hati kekanda telah menjadi keras sehingga tiada lagi menyimpan rasa belas kasihan, bagaimana kami dapat bergantung kepada kekanda di Hari Pembalasan kelak?”
Maka berkatalah asy-Sayikh Abdul Qodir al-Jilani “Wahai isteri-isteriku yang tercinta! Janganlah kamu semua menyangka hatiku ini keras. Aku menyimpan rasa belas kasihan di hatiku terhadap seluruh makhluk, sampai terhadap orang-orang kafir dan juga terhadap anjing-anjing yang menggigitku. Aku berdoa kepada Allah agar anjing-anjing itu
berhenti menggigit, bukanlah karena aku takut digigit, tetapi aku takut nanti manusia lain akan melontar anjing-anjing itu dengan batu. Tidakkah kamu mengetahui bahwa aku mewarisi sifat belas kasihan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yang telah diutus Allah sebagai rahmat untuk sekalian alam?”
Maka wanita-wanita itu telah berkata pula, “Kalau benar kekanda mempunyai rasa belas kasihan terhadap seluruh makhluk Allah, sampai kepada anjing-anjing yang menggigit kekanda, kenapa kekanda tidak menunjukkan rasa sedih atas kehilangan anak lelaki kita yang telah meninggal ini?”
Asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pun menjawab, “Wahai isteri-isteriku yang sedang berdukacita, kamu semua menangis karena kamu semua merasa telah berpisah daripada anak lelaki kita yang kamu semua sayangi. Tetapi aku sentiasa bersama dengan orang-orang yang aku sayangi. Kamu semua telah melihat anak lelaki kita di dalam satu ilusi yang disebut dunia. Kini, dia telah meninggalkannya lalu berpindah ke satu tempat yang lain. Allah telah berfirman (Surat al-adid, ayat 20):
“dan tiadaklah kehidupan dunia ini melainkan hanyalah satu ilusi saja.” Memang dunia ini adalah satu ilusi, untuk mereka yang sedang terlena. Tetapi aku tidak terlena – aku melihat dan waspada. Aku telah melihat anak lelaki kita sedang berada di dalam bulatan masa, dan kini dia telah keluar darinya. Namun aku masih dapat melihatnya. Dia kini berada di sisiku. Dia sedang bermain-main di sekelilingku, sebagaimana yang pernah dia lakukan pada masa dahulu. Sesungguhnya, jika seseorang itu dapat melihat Kebenaran melalui mata hatinya, sama dengan yang dilihatnya masih hidup ataupun sudah mati, maka Kebenaran itu tetap tidak akan hilang.”
Telah diceritakan di dalam sebuah riwayat: Pada suatu hari, asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani berjalan-jalan dengan beberapa muridnya di padang pasir. Waktu itu hari sangat panas, dan mereka sedang berpuasa. Oleh itu mereka merasa letih dan dahaga.
Tiba-tiba, sekumpulan awan muncul, yang melindungi mereka dari panas terik matahari. Setelah itu, sebatang pohon kurma dan sebuah kolam air muncul di hadapan mereka. Mereka telah terpesona. Kemudian satu cahaya besar yang berkilauan, telah muncul dari celah awan di hadapan mereka dan kedengaranlah satu suara dari dalamnya yang telah
berkata, “Wahai ‘Abdul Qadir, akulah Tuhanmu. Makan dan minumlah, karena pada hari ini, telah aku halalkan untuk engkau apa yang telah aku haramkan untuk orang-orang lain.” Asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pun melihat ke arah cahaya itu dan berkata, “Aku berlindung dengan Allah dari godaan syaitan yang terkutuk.”
Tiba-tiba, cahaya, pohon kurma dan kolam itu semuanya hilang dari pandangan mata. Maka kelihatanlah Iblis di hadapan mereka dengan bentuk rupanya yang asli.
Iblis bertanya, “Bagaimanakah engkau dapat mengetahui itu sebenarnya adalah aku?”
Asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani telah menjawab, “Syariat itu sudah sempurna, dan tidak akan berubah sampai Hari Kiamat. Allah tidak akan mengubah yang haram kepada yang halal, walaupun untuk orang-orang yang menjadi pilihanNya (waliNya).”
Maka Iblis pun berkata lagi untuk menguji asy-Sayikh Abdul Qodir al-Jilani “Aku telah mampu menipu 70 kaum daripada golongan as-salikin (yakni orang-orang yang menempuh jalan kerohanian) dengan cara ini. Ilmu yang engkau miliki lebih luas
daripada ilmu mereka. Apakah hanya ini jumlah pengikutmu? Sudah sepatutnya semua penduduk bumi ini menjadi pengikutmu, karena ilmumu menyamai ilmu para nabi.”
Asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani menjawab, “Aku berlindung dengan Allah Yang Maha Mendengar, Yang Maha Mengetahui, daripada engkau. Bukanlah karena ilmuku aku terselamat, tetapi karena rahmat daripada Allah, Pengatur sekelian alam.”

Jumat, 03 Desember 2010

UWAIS AL-QORNI

TAK TERKENAL DI BUMI, TERKENAL DI LANGIT
Pada zaman Nabi Muhammad SAW, ada seorang pemuda bermata biru, rambutnya merah, pundaknya lapang panjang, berpenampilan cukup tampan, kulitnya kemerah-merahan, dagunya menempel di dada selalu melihat pada tempat sujudnya, tangan kanannya menumpang pada tangan kirinya, ahli membaca Al Qur’an dan menangis, pakaiannya hanya dua helai sudah kusut yang satu untuk penutup badan dan yang satunya untuk selendangan, tiada orang yang menghiraukan, tak dikenal oleh penduduk bumi akan tetapi sangat terkenal di langit. Dia, jika bersumpah demi Allah pasti terkabul. Pada hari kiamat nanti ketika semua ahli ibadah dipanggil disuruh masuk surga, dia justru dipanggil agar berhenti dahulu dan disuruh memberi syafa’at, ternyata Allah memberi izin dia untuk memberi syafa’at sejumlah qobilah Robi’ah dan qobilah Mudhor, semua dimasukkan surga tak ada yang ketinggalan karenanya.Dia adalah “Uwais al-Qarni”. Ia tak dikenal banyak orang dan juga miskin, banyak orang suka menertawakan, mengolok-olok, dan menuduhnya sebagai tukang membujuk, tukang mencuri serta berbagai macam umpatan dan penghinaan lainnya.Seorang fuqoha’ negeri Kuffah, karena ingin duduk dengannya, memberinya hadiah dua helai pakaian, tapi tak berhasil dengan baik, karena hadiah pakaian tadi diterima lalu dikembalikan lagi olehnya seraya berkata :“Aku khawatir, nanti sebagian orang menuduh aku, dari mana kamu dapatkan pakaian itu, kalau tidak dari membujuk pasti dari mencuri”.Pemuda dari Yaman ini telah lama menjadi yatim, tak punya sanak famili kecuali hanya ibunya yang telah tua renta dan lumpuh. Hanya penglihatan kabur yang masih tersisa. Untuk mencukupi kehidupannya sehari-hari, Uwais bekerja sebagai penggembala kambing. Upah yang diterimanya hanya cukup untuk sekedar menopang kesehariannya bersama Sang ibu, bila ada kelebihan, ia pergunakan untuk membantu tetangganya yang hidup miskin dan serba kekurangan seperti keadaannya.Kesibukannya sebagai penggembala domba dan merawat ibunya yang lumpuh dan buta, tidak mempengaruhi kegigihan ibadahnya, ia tetap melakukan puasa di siang hari dan bermunajat di malam harinya Uwais al-Qarni telah memeluk Islam pada masa negeri Yaman mendengar seruan Nabi Muhammad SAW. yang telah mengetuk pintu hati mereka untuk menyembah Allah, Tuhan Yang Maha Esa, yang tak ada sekutu bagi-Nya. Islam mendidik setiap pemeluknya agar berakhlak luhur. Peraturan-peraturan yang terdapat di dalamnya sangat menarik hati Uwais, sehingga setelah seruan Islam datang di negeri Yaman, ia segera memeluknya, karena selama ini hati Uwais selalu merindukan datangnya kebenaran.Banyak tetangganya yang telah memeluk Islam, pergi ke Madinah untuk mendengarkan ajaran Nabi Muhammad SAW secara langsung. Sekembalinya di Yaman, mereka memperbarui rumah tangga mereka dengan cara kehidupan Islam. Alangkah sedihnya hati Uwais setiap melihat tetangganya yang baru datang dari Madinah. Mereka itu telah “bertamu dan bertemu” dengan kekasih Allah penghulu para Nabi, sedang ia sendiri belum.Kecintaannya kepada Rasulullah menumbuhkan kerinduan yang kuat untuk bertemu dengan sang kekasih, tapi apalah daya ia tak punya bekal yang cukup untuk ke Madinah, dan yang lebih ia beratkan adalah sang ibu yang jika ia pergi, tak ada yang merawatnya.Di ceritakan ketika terjadi perang Uhud Rasulullah SAW mendapat cedera dan giginya patah karena dilempari batu oleh musuh-musuhnya. Kabar ini akhirnya terdengar oleh Uwais. Ia segera memukul giginya dengan batu hingga patah. Hal tersebut dilakukan sebagai bukti kecintaannya kepada beliau SAW, sekalipun ia belum pernah melihatnya.Hari berganti dan musim berlalu, dan kerinduan yang tak terbendung membuat hasrat untuk bertemu tak dapat dipendam lagi. Uwais merenungkan diri dan bertanya dalam hati, kapankah ia dapat menziarahi Nabinya dan memandang wajah beliau dari dekat ? Tapi, bukankah ia mempunyai ibu yang sangat membutuhkan perawatannya dan tak tega ditingalkan sendiri, hatinya selalu gelisah siang dan malam menahan kerinduan untuk berjumpa.Akhirnya, pada suatu hari Uwais mendekati ibunya, mengeluarkan isi hatinya dan memohon izin kepada ibunya agar diperkenankan pergi menziarahi Nabi SAW di Madinah. Sang ibu, walaupun telah uzur, merasa terharu ketika mendengar permohonan anaknya. Beliau memaklumi perasaan Uwais, dan berkata:“Pergilah wahai anakku ! temuilah Nabi di rumahnya. Dan bila telah berjumpa, segeralah engkau kembali pulang”.Dengan rasa gembira ia berkemas untuk berangkat dan tak lupa menyiapkan keperluan ibunya yang akan ditinggalkan serta berpesan kepada tetangganya agar dapat menemani ibunya selama ia pergi. Sesudah berpamitan sambil menciumi sang ibu, berangkatlah Uwais menuju Madinah yang berjarak kurang lebih empat ratus kilometer dari Yaman. Medan yang begitu ganas dilaluinya, tak peduli penyamun gurun pasir, bukit yang curam, gurun pasir yang luas yang dapat menyesatkan dan begitu panas di siang hari, serta begitu dingin di malam hari, semuanya dilalui demi bertemu dan dapat memandang sepuas-puasnya paras baginda Nabi SAW yang selama ini dirindukannya.Tibalah Uwais al-Qarni di kota Madinah. Segera ia menuju ke rumah Nabi SAW, diketuknya pintu rumah itu sambil mengucapkan salam. Keluarlah sayyidatina ‘Aisyah r.a., sambil menjawab salam Uwais. Segera saja Uwais menanyakan Nabi yang ingin dijumpainya. Namun ternyata beliau SAW tidak berada di rumah melainkan berada di medan perang.Betapa kecewa hati sang perindu, dari jauh ingin berjumpa tetapi yang dirindukannya tak berada di rumah. Dalam hatinya bergolak perasaan ingin menunggu kedatangan Nabi SAW dari medan perang. Tapi, kapankah beliau pulang ? Sedangkan masih terngiang di telinga pesan ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan itu, agar ia cepat pulang ke Yaman,” Engkau harus lekas pulang”.Karena ketaatan kepada ibunya, pesan ibunya tersebut telah mengalahkan suara hati dan kemauannya untuk menunggu dan berjumpa dengan Nabi SAW. Ia akhirnya dengan terpaksa mohon pamit kepada sayyidatina ‘Aisyah r.a. untuk segera pulang ke negerinya. Dia hanya menitipkan salamnya untuk Nabi SAW dan melangkah pulang dengan perasaan haru.Sepulangnya dari perang, Nabi SAW langsung menanyakan tentang kedatangan orang yang mencarinya. Nabi Muhammad SAW menjelaskan bahwa Uwais al-Qarni adalah anak yang taat kepada ibunya. Ia adalah penghuni langit (sangat terkenal di langit). Mendengar perkataan baginda Rosulullah SAW, sayyidatina ‘Aisyah r.a. dan para sahabatnya tertegun. Menurut informasi sayyidatina ‘Aisyah r.a., memang benar ada yang mencari Nabi SAW dan segera pulang kembali ke Yaman, karena ibunya sudah tua dan sakit-sakitan sehingga ia tidak dapat meninggalkan ibunya terlalu lama.Rosulullah SAW bersabda : “Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia (Uwais al-Qarni), perhatikanlah, ia mempunyai tanda putih di tengah-tengah telapak tangannya.”Sesudah itu beliau SAW, memandang kepada sayyidina Ali k.w. dan sayyidina Umar r.a. dan bersabda : “Suatu ketika, apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah do’a dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit dan bukan penghuni bumi”.Tahun terus berjalan, dan tak lama kemudian Nabi SAW wafat, hingga kekhalifahan sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. telah di estafetkan Khalifah Umar r.a. Suatu ketika, khalifah Umar teringat akan sabda Nabi SAW. tentang Uwais al-Qarni, sang penghuni langit. Beliau segera mengingatkan kepada sayyidina Ali k.w. untuk mencarinya bersama.Sejak itu, setiap ada kafilah yang datang dari Yaman, beliau berdua selalu menanyakan tentang Uwais al-Qorni, apakah ia turut bersama mereka. Diantara kafilah-kafilah itu ada yang merasa heran, apakah sebenarnya yang terjadi sampai-sampai ia dicari oleh beliau berdua. Rombongan kafilah dari Yaman menuju Syam silih berganti, membawa barang dagangan mereka.Suatu ketika, Uwais al-Qorni turut bersama rombongan kafilah menuju kota Madinah. Melihat ada rombongan kafilah yang datang dari Yaman, segera khalifah Umar r.a. dan sayyidina Ali k.w. mendatangi mereka dan menanyakan apakah Uwais turut bersama mereka. Rombongan itu mengatakan bahwa ia ada bersama mereka dan sedang menjaga unta-unta mereka di perbatasan kota. Mendengar jawaban itu, beliau berdua bergegas pergi menemui Uwais al-Qorni.Sesampainya di kemah tempat Uwais berada, Khalifah Umar r.a. dan sayyidina Ali k.w. memberi salam. Namun rupanya Uwais sedang melaksanakan sholat. Setelah mengakhiri shalatnya, Uwais menjawab salam kedua tamu agung tersebut sambil bersalaman. Sewaktu berjabatan, Khalifah Umar segera membalikkan tangan Uwais, untuk membuktikan kebenaran tanda putih yang berada ditelapak tangan Uwais, sebagaimana pernah disabdakan oleh baginda Nabi SAW. Memang benar ! Dia penghuni langit.Dan ditanya Uwais oleh kedua tamu tersebut, siapakah nama saudara ?“Abdullah”, jawab Uwais.Mendengar jawaban itu, kedua sahabatpun tertawa dan mengatakan : “Kami juga Abdullah, yakni hamba Allah. Tapi siapakah namamu yang sebenarnya ?”Uwais kemudian berkata: “Nama saya Uwais al-Qorni”.Dalam pembicaraan mereka, diketahuilah bahwa ibu Uwais telah meninggal dunia. Itulah sebabnya, ia baru dapat turut bersama rombongan kafilah dagang saat itu. Akhirnya, Khalifah Umar dan Ali k.w. memohon agar Uwais berkenan mendo’akan untuk mereka. Uwais enggan dan dia berkata kepada khalifah:“Sayalah yang harus meminta do’a kepada kalian”.Mendengar perkataan Uwais, Khalifah berkata:“Kami datang ke sini untuk mohon do’a dan istighfar dari anda”.Karena desakan kedua sahabat ini, Uwais al-Qorni akhirnya mengangkat kedua tangannya, berdo’a dan membacakan istighfar. Setelah itu Khalifah Umar r.a. berjanji untuk menyumbangkan uang negara dari Baitul Mal kepada Uwais, untuk jaminan hidupnya.Segera saja Uwais menolak dengan halus dengan berkata : “Hamba mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang. Untuk hari-hari selanjutnya, biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui orang lagi.Setelah kejadian itu, nama Uwais kembali tenggelam tak terdengar beritanya.Tapi ada seorang lelaki pernah bertemu dan di tolong oleh Uwais , waktu itu kami sedang berada di atas kapal menuju tanah Arab bersama para pedagang, tanpa disangka-sangka angin topan berhembus dengan kencang. Akibatnya hempasan ombak menghantam kapal kami sehingga air laut masuk ke dalam kapal dan menyebabkan kapal semakin berat.Pada saat itu, kami melihat seorang laki-laki yang mengenakan selimut berbulu di pojok kapal yang kami tumpangi, lalu kami memanggilnya. Lelaki itu keluar dari kapal dan melakukan sholat di atas air. Betapa terkejutnya kami melihat kejadian itu.“Wahai waliyullah,” Tolonglah kami !” tetapi lelaki itu tidak menoleh.Lalu kami berseru lagi,” Demi Zat yang telah memberimu kekuatan beribadah, tolonglah kami!”Lelaki itu menoleh kepada kami dan berkata: “Apa yang terjadi ?”“Tidakkah engkau melihat bahwa kapal dihembus angin dan dihantam ombak ?”tanya kami.“Dekatkanlah diri kalian pada Allah ! ”katanya.“Kami telah melakukannya.”“Keluarlah kalian dari kapal dengan membaca bismillahirrohmaanirrohiim!”Kami pun keluar dari kapal satu persatu dan berkumpul di dekat itu. Pada saat itu jumlah kami lima ratus jiwa lebih. Sungguh ajaib, kami semua tidak tenggelam, sedangkan perahu kami berikut isinya tenggelam ke dasar laut. Lalu orang itu berkata pada kami ,”Tak apalah harta kalian menjadi korban asalkan kalian semua selamat”.“Demi Allah, kami ingin tahu, siapakah nama Tuan ? ”Tanya kami.“Uwais al-Qorni”. Jawabnya dengan singkat.Kemudian kami berkata lagi kepadanya, ”Sesungguhnya harta yang ada di kapal tersebut adalah milik orang-orang fakir di Madinah yang dikirim oleh orang Mesir.” “Jika Allah mengembalikan harta kalian. Apakah kalian akan membagi-bagikannya kepada orang-orang fakir di Madinah?” tanyanya.“Ya,”jawab kami.Orang itu pun melaksanakan sholat dua rakaat di atas air, lalu berdo’a. Setelah Uwais al-Qorni mengucap salam, tiba-tiba kapal itu muncul ke permukaan air, lalu kami menumpanginya dan meneruskan perjalanan. Setibanya di Madinah, kami membagi-bagikan seluruh harta kepada orang-orang fakir di Madinah, tidak satupun yang tertinggal.Beberapa waktu kemudian, tersiar kabar kalau Uwais al-Qorni telah pulang ke rahmatullah. Anehnya, pada saat dia akan dimandikan tiba-tiba sudah banyak orang yang berebutan untuk memandikannya. Dan ketika dibawa ke tempat pembaringan untuk dikafani, di sana sudah ada orang-orang yang menunggu untuk mengkafaninya. Demikian pula ketika orang pergi hendak menggali kuburnya. Di sana ternyata sudah ada orang-orang yang menggali kuburnya hingga selesai. Ketika usungan dibawa menuju ke pekuburan, luar biasa banyaknya orang yang berebutan untuk mengusungnya.Dan Syeikh Abdullah bin Salamah menjelaskan, “ketika aku ikut mengurusi jenazahnya hingga aku pulang dari mengantarkan jenazahnya, lalu aku bermaksud untuk kembali ke tempat penguburannya guna memberi tanda pada kuburannya, akan tetapi sudah tak terlihat ada bekas kuburannya. (Syeikh Abdullah bin Salamah adalah orang yang pernah ikut berperang bersama Uwais al-Qorni pada masa pemerintahan sayyidina Umar r.a.)Meninggalnya Uwais al-Qorni telah menggemparkan masyarakat kota Yaman. Banyak terjadi hal-hal yang amat mengherankan. Sedemikian banyaknya orang yang tak dikenal berdatangan untuk mengurus jenazah dan pemakamannya, padahal Uwais adalah seorang fakir yang tak dihiraukan orang. Sejak ia dimandikan sampai ketika jenazahnya hendak diturunkan ke dalam kubur, di situ selalu ada orang-orang yang telah siap melaksanakannya terlebih dahulu. Penduduk kota Yaman tercengang.Mereka saling bertanya-tanya : “Siapakah sebenarnya engkau wahai Uwais al-Qorni ? Bukankah Uwais yang kita kenal, hanyalah seorang fakir yang tak memiliki apa-apa, yang kerjanya hanyalah sebagai penggembala domba dan unta ? Tapi, ketika hari wafatmu, engkau telah menggemparkan penduduk Yaman dengan hadirnya manusia-manusia asing yang tidak pernah kami kenal. Mereka datang dalam jumlah sedemikian banyaknya. Agaknya mereka adalah para malaikat yang di turunkan ke bumi, hanya untuk mengurus jenazah dan pemakamannya. Baru saat itulah penduduk Yaman mengetahuinya siapa “Uwais al-Qorni” ternyata ia tak terkenal di bumi tapi menjadi terkenal di langit.

Al Imam Al Faqih Al Muqaddam Muhammad

[Al-Imam Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad - Ali - Muhammad Shohib Mirbath - Ali Khali' Qasam - Alwi - Muhammad - Alwi - Ubaidillah - Ahmad Al-Muhajir - Isa Ar-Rumi - Muhammad An-Naqib - Ali Al-'Uraidhi - Ja'far Ash-Shodiq - Muhammad Al-Baqir - Ali Zainal Abidin - Husain - Fatimah Az-Zahro - Muhammad SAW]

Beliau adalah Al-Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shohib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Al-Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa, dan terus bersambung nasabnya sampai Rasulullah SAW. Beliau dijuluki dengan Al-Faqih Al-Muqaddam (seorang faqih yang diunggulkan).

Beliau adalah al-’arif billah, seorang ulama besar, pemuka para imam dan guru, suri tauladan bagi al-’arifin, penunjuk jalan bagi as-salikin, seorang qutub yang agung, imam bagi Thariqah Alawiyyah, seorang yang mendapatkan kewalian rabbani dan karomah yang luar biasa, seorang yang mempunyai jiwa yang bersih dan perjalanan hidupnya terukir dengan indah.

Beliau adalah seorang yang diberikan keistimewaan oleh Allah SWT, sehingga beliau mampu menyingkap rahasia ayat-ayat-Nya. Ditambah lagi Allah memberikannya kemampuan untuk menguasai berbagai macam ilmu, baik yang dhohir ataupun yang bathin.

Beliau dilahirkan pada tahun 574 H. Beliau mengambil ilmu dari para ulama besar di jamannya. Di antaranya adalah Al-Imam Al-Allamah Al-Faqih Abul Hasan Ali bin Ahmad bin Salim Marwan Al-Hadhrami At-Tarimi. Al-Imam Abul Hasan ini adalah seorang guru yang agung, pemuka para ulama besar di kota Tarim. Selain itu beliau (Al-Faqih Al-Muqaddam) juga mengambil ilmu dari Al-Faqih Asy-Syeikh Salim bin Fadhl dan Al-Imam Al-Faqih Abdullah bin Abdurrahman bin Abu Ubaid (pengarang kitab Al-Ikmal Ala At-Tanbih). Gurunya itu, yakni Al-Imam Abdullah bin Abdurrahman, tidak memulai pelajaran kecuali kalau Al-Faqih Al-Muqaddam sudah hadir. Selain itu beliau (Al-Fagih Al-Muqaddam) juga mengambil ilmu dari beberapa ulama besar lainnya, diantaranya Al-Qadhi Al-Faqih Ahmad bin Muhammad Ba’isa, Al-Imam Muhammad bin Ahmad bin Abul Hubbi, Asy-Syeikh Sufyan Al-Yamani, As-Sayyid Al-Imam Al-Hafidz Ali bin Muhammad bin Jadid, As-Sayyid Al-Imam Salim bin Bashri, Asy-Syeikh Muhammad bin Ali Al-Khatib, Asy-Syeikh As-Sayyid Alwi bin Muhammad Shohib Mirbath (paman beliau) dan masih banyak lagi.

Dalam mengambil sanad keilmuan dan thariqahnya, beliau mengambil dari dua jalur sekaligus. Jalur pertama adalah beliau mengambil dari orangtua dan pamannya, orangtua dan pamannya mengambil dari kakeknya, dan terus sambung-menyambung dan akhirnya sampai kepada Rasulullah SAW. Adapun jalur yang kedua, beliau mengambil dari seorang ulama besar dan pemuka ahli sufi, yaitu Sayyidina Asy-Syeikh Abu Madyan Syu’aib, melalui dua orang murid Asy-Syeikh Abu Madyan, yaitu Abdurrahman Al-Maq’ad Al-Maghrobi dan Abdullah Ash-Sholeh Al-Maghrobi. Kemudian Asy-Syeikh Abu Madyan mengambil dari gurunya, gurunya mengambil dari gurunya, dan terus sambung-menyambung dan akhirnya sampai kepada Rasulullah SAW.

Di masa-masa awal pertumbuhannya, beliau menjalaninya dengan penuh kesungguhan dan mencari segala hal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah. Beliau berpegang teguh pada Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah, serta mengikuti jejak-jejak para Sahabat Nabi dan para Salafus Sholeh. Beliau ber-mujahadah dengan keras dalam mendidik akhlaknya dan menghiasinya dengan adab-adab yang sesuai dengan syariah.

Beliau juga giat dalam menuntut ilmu, sehingga mengungguli ulama-ulama di jamannya dalam penguasaan berbagai macam ilmu. Para ulama di jamannya pun mengakui akan ketinggian dan penguasaannya dalam berbagai macam ilmu. Mereka juga mengakui kesempurnaan yang ada pada diri beliau untuk menyandang sebagai imam di jamannya.

Mujahadah beliau di masa-masa awal pertumbuhannya bagaikan mujahadahnya orang-orang yang sudah mencapai maqam al-’arif billah. Allah-lah yang mengaruniai kekuatan dan keyakinan di dalam diri beliau. Allah-lah juga yang mengaruniai beliau berbagai macam keistimewaan dan kekhususan yang tidak didapatkan oleh para qutub yang lainnya. Hati beliau tidak pernah kosong sedetikpun untuk selalu berhubungan dengan Allah. Sehingga tampak pada diri beliau asrar, waridad, mawahib dan mukasyafah.

Beliau adalah seorang yang tawadhu dan menyukai ketertutupan di setiap keadaannya. Beliau pernah berkirim surat kepada seorang pemuka para ahli sufi yang bernama Asy-Syeikh Sa’ad bin Ali Adz-Dzofari. Setelah Asy-Syeikh Sa’ad membaca surat itu dan merasakan kedalaman isi suratnya, ia terkagum-kagum dan merasakan asrar dan anwar yang ada di dalamnya. Kemudian ia membalas surat tersebut, dan di akhir suratnya ia berkata, “Engkau, wahai Faqih, orang yang diberikan karunia oleh Allah yang tidak dipunyai oleh siapapun. Engkau adalah orang yang paling mengerti dengan syariah dan haqiqah, baik yang dhohir maupun yang bathin.”

Berkata Al-Imam Asy-Syeikh Abdurrahman As-Saggaf tentang diri Al-Faqih Al-Muqaddam, “Aku tidak pernah melihat atau mendengar suatu kalam yang lebih kuat daripada kalamnya Al-Faqih Muhammad bin Ali, kecuali kalamnya para Nabi alaihimus salam. Kami tidak dapat mengunggulkan seorang wali pun terhadapnya (Al-Faqih Al-Muqaddam), kecuali dari golongan Sahabat Nabi, atau orang yang diberikan kelebihan melalui Hadits seperti Uwais (Al-Qarni) atau selainnya.”

Beliau, Al-Faqih Al-Muqaddam, pernah berkata, “Aku terhadap masyakaratku seperti awan.” Suatu hari dikisahkan bahwa beliau pernah tertinggal pada saat ziarah ke kubur Nabiyallah Hud alaihis salam. Beliau berkisah, “Pada suatu saat aku duduk di suatu tempat yang beratap tinggi. Tiba-tiba datanglah Nabiyallah Hud ke tempatku sambil membungkukkan badannya agar tak terkena atap. Lalu ia berkata kepadaku, ‘Wahai Syeikh, jika engkau tidak berziarah kepadaku, maka aku akan berziarah kepadamu.’”

Dikisahkan juga bahwa pada suatu saat ketika beliau sedang duduk-duduk bersama para sahabatnya, datanglah Nabi Khidir alaihis salam menyerupai seorang badui dan diatas kepalanya terdapat kotoran. Bangunlah Al-Faqih Al-Muqaddam, lalu mengambil kotoran tersebut dari kepalanya dan kemudian memakannya. Kejadian tersebut membuat para sahabatnya terheran-heran. Akhirnya mereka bertanya, “Siapakah orang itu?.” Maka Al-Faqih Al-Muqaddam menjawab, “Dia adalah Nabi Khidir alaihis salam.”

Beliau, Al-Faqih Al-Muqaddam, banyak menghasilkan para ulama besar di jamannya. Beberapa ulama besar berhasil dalam didikan beliau. Yang paling terutama adalah dua orang muridnya, yaitu Asy-Syeikh Abdullah bin Muhammad ‘Ibad dan Asy-Syeikh Sa’id bin Umar Balhaf. Selain keduanya, banyak juga ulama-ulama besar yang berhasil digembleng oleh beliau, diantaranya Asy-Syekh Al-Kabir Abdullah Baqushair, Asy-Syeikh Abdurrahman bin Muhammad ‘Ibad, Asy-Syeikh Ali bin Muhammad Al-Khatib dan saudaranya Asy-Syeikh Ahmad, Asy-Syeikh Sa’ad bin Abdullah Akdar dan saudara-saudara sepupunya, dan masih banyak lagi.

Beliau wafat pada tahun 653 H, akhir dari bulan Dzulhijjah. Jazad beliau disemayamkan di pekuburan Zanbal, di kota Tarim. Banyak masyarakat yang berduyun-duyun menghadiri prosesi pemakaman beliau. Beliau meninggalkan 5 orang putra, yaitu Alwi, Abdullah, Abdurrahman, Ahmad dan Ali.

Radhiyallohu anhu wa ardhah…

[Disarikan dari Syarh Al-Ainiyyah, Nadzm Sayyidina Al-Habib Al-Qutub Abdullah bin Alwi Alhaddad Ba'alawy, karya Al-Allamah Al-Habib Ahmad bin Zain Alhabsyi Ba'alawy]

Kamis, 02 Desember 2010

Imam Al Bukhari… Sang Perawi Hadist

Dalam dunia Islam… Beliau terkenal sebagai Perawi Hadist yang handal…
Imam Bukhari mempunyai nama lengkap Abu Abdullah ibn Ismail ibn Ibrahim ibn Mughirah ibn Bardzibah Al-Bukhari Ia dilahirkan di Bukhara, Uzbekistan pada tanggal 13 Syawal 194 H. Bapaknya, Ismail, adalah seorang ulama hadits yang mempelajari materi ini di bawah bimbingan sejumlah tokoh ulama termasyhur, seperti Malik bin Anas, Hammad bin Zayd, dan Ibnu Mubarak
Ketika Iman-Bukhari masih remaja, orang tuanya meninggal dunia dan ia mewarisi kekayaan dan nasib yang cukup baik dari ayahnya. Iman Bukhari mempunyai seorang ibu yang afeksionis dan seorang kakak laki-laki yang bernama Ahmad.
Imam Bukhari dikarunia otak yang sangat cerdas. Pemikirannya tajam dan hafalannya kuat. Kecerdasan dan ketajaman pikirannya sudah terlihat sejak masa anak-anak. Ulama hadits ini mewarisi ketakwaannya ayahnya. Minatnya terhadap dunia keilmuan sudah terbentuk sejak kecil. Ayahnya merupakan tokoh idolanya sekaligus guru pertama baginya. Bahkan konon, ia ditinggal oleh ayahnya sejak usia 5 tahun.
KH. Ali Mustafa Ya’kub, guru besar ilmu hadist pada Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an di Jakarta, mengatakan ayahanda Imam Bukhari meninggalkan sebuah warisan berharga baginya, yaitu perpustakaan pribadi yang penuh dengan kitab-kitab, terutama kitab-kitab hadits. Dalam keadaan yatim, Imam Bukhari diasuh oleh ibunya dengan penuh kasih sayang. Dibimbingnya Imam Bukhari kecil agar lebih mencintai buku-buku peninggalan ayahnya, sehingga kecil terbiasa Imam Bukhari membaca dan menulis, terutama dalam bidang Al-Qur’an dan hadits.
Ketabahan dari seorang ibu yang shalihah, akhirnya mulai membuahkan hasil ketika pada umur 10 tahun, Imam Bukhari muncul sebagai anak yang berotak cemerlang dan mengalahkan anak-anak sebayanya. Pada saat umur 10 tahun itulah mulai mempelajari Imam Bukhari dan menghafal hadist. Ketika umur 11 tahun perpustakaan ayahnya sudah tidak memadai lagi bagi Imam Bukhari dan karena itulah semangat Imam Bukhari semakin menggebu-gebu untuk mempelajari hadist, sehingga pada usia yang masih relatif muda, yakni umur 16 tahun, Imam Bukhari telah berhasil menghafalkan beberapa buah buku hasil karya sejumlah tokoh ulama yang terdahulu seperti Ibnu Mubarak, dan Waki’. Ia tidak hanya menghafal matan (periwayatan) hadits dan buku-buku ulama terdahulu, tetapi juga mengenal betul biografi para perawi yang mengambil bagian dan penukilan sejumlah hadits, data tanggal lahir, meninggal, tempat lahir dan sebagainya.
Imam Bukhari seorang yang berbadan kurus, berperawakan sedang, kulitnya kecoklatan, makannya sedikit, pemalu, dan zuhud. Imam Bukhari juga sangat berhati-hati dan sopan dalam berbicara, terutama dalam mengeritik para perawi. Terhadap perawi yang diketahui jelas kebohongannya, ia cukup mengatakan “fihi nazdarun” (perlu dipertimbangkan), “sakatu anhu” (mereka tidak menghiraukannya). Perkataannya yang tegas terhadap perawi yang tercela adalah: “munkarul hadist” (haditsnya diingkari).
Pada tahun 210 H, ia menunaikan ibadah haji ke tanah suci Makkah bersama ibu dan saudara-saudaranya. Perjalanan itu sangat mengesankan bagi dia. Bukan saja merupakan kesempatan yang baik untuk bermunajat kepada Allah, tetapi juga kesempatan baik untuk berdialog dengan pakar-pakar hadits di haramayn (Makkah dan Madinah). Ketika ibadah haji, Imam Bukhari memutuskan untuk menetap di kota kelahiran Nabi Muhammad guna menimba ilmu dan hadits. Ia menetap di Makkah dan Madinah selama 6 tahun. Di kota inilah Imam Bukhari banyak menghasilkan karya tulis, termasuk diantaranya; penyusunan dasar-dasar Jami’us Shahih. Bahkan, ia menulis kitab Tarikh Khabir di sisi makam Rasulullah SAW dan sering menulis di malam hari di bawah terang bulan.
Imam Bukhari juga telah banyak melakukan ekspedisi (lawatan) ke berbagai negara, dan hampir seluruh negeri Islam disinggahinya. Imam Bukhari pernah berkata; “saya telah pergi ke Syam, Mesir, Jazirah dua kali, Bashrah empat kali, dan saya bermukim di Hizaj selama 6 tahun, dan tak dapat dihitung lagi berkali-kali saya pergi ke Kufah dan Baghdad untuk menemui ulama hadist. Di kota Baghdad, Imam Bukhari sering menemui Imam Ahmad bin Hambal, seorang ahli fiqih dan hadist –penulis kitab musnad– dan menganjurkan kepada Imam Bukhari untuk tinggal di Baghdad serta melarangnya untuk tinggal di Khurasan.
Dalam setiap perjalanannya, Imam Bukhari selalu mengumpulkan dan menulis hadits. Di tengah malam, ia bangun menyalakan lampu dan menulis setiap yang terlintas dalam benaknya, kemudian lampu itu dimatikan. Hal itu kurang lebih dilakukan 20 kali setiap malam. Begitu juga dalam melakukan pelacakan hadist dari sumbernya yang terpercaya. Pelacakan tersebut tidak hanya di kota tempat di mana banyak tokoh hadits bermukim di sana, tetapi juga ia langsung menemui tokoh-tokoh tersebut, seperti Imam Ahmad bin Hambal, Yahya bin Mu’in, dan Muhammad Ibnu Rawaih.
Dari hasil pelacakan itu, Imam Bukhari berhasil menemukan kurang lebih 80 orang guru dan berhasil pula menghimpun sekitar 6000 hadist. Walau ia memiliki kemampuan yang luar biasa dalam bidang hadits, namun Imam Bukhari tetap memiliki jiwa mulia, terhormat, sangat membanggakan dan memuliakan ilmu, juga senantiasa menjaga agar ilmunya tidak direndahkan dan tidak di bawa pada tempat-tempat penguasa. Sebab saat itu terjadi ketegangan antara Gubernur Bukhara, Khalid bin Ahmad Az-Zuhaili, dengan Imam Bukhari, dimana ia menolak sikap konsisten Imam Bukhari.
Imam Bukhari adalah sosok ulama hadist yang produktif dalam menulis. Ia banyak menghasilkan karya bermutu, terutama dalam bidang hadist. Berikut karya-karya Imam Bukhari yang terkemuka antara lain:
1. Al- Tarikh Al- Shaghir (Kisah Sejarah Singkat)
2. Al-Tarikh Al-Ausat (Kisah Sejarah)
3. Al-Dhu’afa (Kemiskinan)
4. Al-Jami’Al-Dhahih (Sahih Bukhari) yang konon menghimpun sebanyak 7.275 hadits
5. Raf’Al-Yadyn fi Al-Shalah (Kemaslahatan)
6. Khair Al-Kalam fi Al-Qiraah Khalf al-Imam (Panduan Membaca Quran bagi Imam shalat)
7. Bir al-Walidayn (Berbakti kepada Orang tua)
8. Khalq af’al-‘Ibad (Akhlak dalam Ibadah)
9. Al-Musnad Al-Kabir (Hadits-hadits yang besar)
10. Al-Hibah (Pemberian)
Itulah beberapa karya ImamBukhari yang merupakan peninggalan bersejarah yang sangat tinggi nilainya. Dan yang pasti semua apa yang telah diwariskan oleh Imam Bukhari harus diteruskan oleh generasi selanjutnya, termasuk generasi yang hidup saat ini dan yang akan datang.
Pada usia 62 tahun, anak yatim yang kemudian kesohor sebagai ahli hadits nomor wahid itu berpulang ke Rahmatullah pada hari sabtu, malam Idul Fitri 1 Syawal 256 H (870 M). Semoga Allah merahmati dan meridlainya. Amin......

Sejarah Syekh Bahauddin Naqsyabandiyah

Syekh Muhammad Bahauddin An Naqsabandiy Ra. Adalah seorang Wali Qutub yang masyhur hidup pada tahun 717-791 H di desa Qoshrul ‘Arifan,Bukhara, Rusia. Beliau adalah pendiri Thoriqoh Naqsyabandiyah sebuahthoriqoh yang sangat terkenal dengan pengikut sampai jutaan jama’ah dantersebar sampai ke Indonesia hingga saat ini.

Nama lengkap beliau adalah Syaikh Bahauddin Muhammad bin Muhammad binMuhammad Asy Syarif Al Husaini Al Hasani Al Uwaisi Al Bukhari QS (Syech Naqsyabandy) Dilahirkan di Qashrul ‘Arifan, Bukhara, Uzbekistan tanggal15 Muharram tahun tahun 717 H atau tahun 1317 M. Syekh Naqsyabandi lahir dari lingkungan keluarga sosial yang baik dan kelahirannya disertai oleh kejadian yang aneh. Menurut satu riwayat, jauh sebelumtiba waktu kelahirannya sudah ada tanda- tanda aneh yaitu bau harumsemerbak di desa kelahirannya itu. Bau harum itu tercium ketika rombongan Syekh Muhammad Baba As Samasi q.s. (silsilah ke- 13), seorangwali besar dari Sammas (sekitar 4 km dari Bukharah), bersama pengikutnya melewati desa tersebut. Ketika itu As Samasi berkata, “Bauharum yang kita cium sekarang ini datang dari seorang laki- laki yangakan lahir di desa ini”. Sekitar tiga hari sebelum Naqsyabandi lahir,wali besar ini kembali menegaskan bahwa bau harum itu semakin semerbak.
Dari awal, ia memiliki kaitan erat dengan Khwajagan, yaitu para guru dalam mata rantai Tariqat Naqsyabandi. Sejak masih bayi, ia di adopsi sebagai anak spiritual oleh salah seorang dari mereka, yaitu BabaMuhammad Sammasi. Sammasi merupakan pemandu pertamanya dalam jalur ini,dan yang lebih penting lagi adalah hubungannya dengan penerus (khalifah) Sammasi, yaitu Amir Kulal, yang merupakan rantai terakhir dalam silsilah sebelum Baha-ud-Din. Baha-ud-Din mendapat latihan dasardalam jalur ini dari Amir Kulal, yang juga merupakan sahabat dekatnyaselama bertahun-tahun.
Pada suatu saat, Baha-ud-Din mendapat instruksi secara "ruhani" oleh Abdul Khaliq Gajadwani (yang telah meninggal secara jasmani) untuk melakukan dzikir secara hening (tanpa suara). Meskipun Amir Kulaladalah keturunan spiritual dari Abdul Khaliq, Amir Kulal mempraktekkan dzikir yang dilakukan dengan bersuara. Setelah mendapat petunjukmengenai dzikir diam tersebut, Baha-ud-Din lantas absen dari kelompok ketika mereka mengadakan dzikir bersuara.

Setelah Naqsyabandi lahir, dia segera dibawa oleh ayahnya kepada Syekh Muhammad Baba As Samasi yang menerimanya dengan gembira. As Samasiberkata, “Ini adalah anakku, dan menjadi saksilah kamu bahwa aku menerimanya”. Naqsyabandi rajin menuntut ilmu dan dengan senang hati menekuni tasawuf. Dia belajar tasawuf kepada Muhammad Baba as Samasi ketika beliau berusia 18 tahun. Untuk itu beliau bermukim di Sammas dan belajar di situ sampai gurunya (Syekh As Samasi) wafat. Sebelum SyekhAs Samasi wafat, beliau mengangkat Naqsyabandi sebagai khalifahnya.Setelah gurunya wafat, dia pergi ke Samarkand, kemudian pulang ke Bukhara, setelah itu pulang ke desa tempat kelahirannya. Setelahbelajar dengan Syekh Baba As Samasi (silsilah ke 13), Naqsyabandi belajar ilmu tarikat kepada seorang wali quthub di Nasyaf, yaitu Syekh As Sayyid Amir Kulal q.s. (silsilah ke- 14).
Syekh Naqsyabandi pernah bertemu secara rohani dengan Syekh Abdul Khaliq Fadjuani dan di ajarkan zikir khafi serta suluk, Sejak masa Syaikh Arif Ar Riwikari sampai Syekh Amir Kulal zikir/tawajuh bersama dilakukan secara zahar akan tetapi kalau zikir sendiri secara khafi,Syekh Naqsyabandi tidak pernah ikut bertawajuh dengan Syekh Amir Kullal yang zikir bersama secara zahar, hal ini menimbulkan prasangka buruk pada murid murid gurunya yang tidak mengerti duduk persoalan. Akan tetapi Syekh Amir Kullal justru bertambah sayang dan cinta kepada Syekh Naqsyabandi. Suatu hari Syekh Bahauddin di panggil oleh Gurunya danberkata, “ Duuh putraku Bahauddin, kebetulan sekali pada waktu inisaudara saudara kita terutama para Khalifahku sedang berkumpul, akuakan berkata kepadamu, supaya disaksikan oleh para hadirin: Bahauddin!Supaya engkau tahu, bersamaan hidmahmu disini, Alhamdulillah aku telah melaksanakan wasiat guruku alhmarhum Syekh Muhammad Baba (lalu Syekh Amir Kullal memberi isyarat pada susunya), dan berkata kepadanya:Engkau telah meneteki susu pendidikanku ini sampai kering, tetapiwadahmu terlalu besar dan persiapanmu sangat kuat, maka itu aku telah mengizinkan kepadamu supaya meninggalkan tempat ini untuk mencari beberapa guru supaya kamu menambah beberapa faedah yang perlu darimereka dan faidan nur (Keluberan Nur Ilahi) yang selaras dengan citacitamu yang agung itu. Aku hanya bisa memberi ancar ancar carilah guru dari tanah Tajik dan dari tanah Turki”.
Setelah meminta izin dari Syekh Amir Kulal selanjutnya Syekh Naqsyabandi berguru kepada Syekh ‘Arifuddin Karoni selama tujuh tahun,kemudian berguru kepada Maulana Qatsam selama dua tahun terkahir kepada Syekh Darwisy Khalil dari Turki selama dua belas tahun. Syekh Naqsyabandi telah melaksanakan titah gurunya (Syekh Amir Khulal) demikian juga fatwa-fatwa dari Syekh Abdul Khaliq Fadjuani untuk memperdalam ilmu-ilmu syariat secara mendalam sehingga sempurnalah ilmuyang Beliau peroleh. Syekh Bahauddin pernah menyanjung ilmu tarekatnya dengan ucapan “Permulaan pelajaran Tarikatku akhir dari pelajaran semua tarekat”. Pisahnya Baha-ud-Din dari kelompok Amir Kulal ini mungkin bisa dianggap sebagai penanda terwujudnya tariqat Naqsyabandi, yangajarannya didapat dari Abdul Khaliq, yang ujungnya berasal dariKhalifah Abu Bakar diperoleh dari Nabi Muhammad.
Al Qutub, Auliya Allah, Penasehat Utama Sultan Khalil di Samarqan,fatwa-fatwanya menjadi rujukan Hakim-Hakim Agung dalam memutuskanperkara. Karena kebesaran namanya, Tarekat yang di pimpinnya tersebardengan cepat dan termashur serta memiliki pengikut yang sangat banyakdan tersebar ke seluruh dunia.
Beliau meletakkan dasar-dasar zikir qalbi yang sirri, zikir batin qalbiyang tidak berbunyi dan tidak bergerak, dan beliau meletakkan kemurnianibadat semata-mata lillahi ta’ala, tergambar dalam do’a beliau yang diajarkan kepada murid-muridnya “Ilahi anta makshuudi waridlaakamathluubi”. secara murni meneruskan ibadat Tratiwatus Sirriyah zaman Rasulullah, Thariqatul Ubudiyyah zaman Abu Bakar Siddiq dan Thariqatus Siddiqiyah zaman Salman al-Farisi. Beliau amat masyhur dengankeramat-keramatnya dan makmur dengan kekayaannya, lagi terkenal sebagai wali akbar dan wali quthub yang afdal, yang amat tinggi hakikat dan marifatnya. Dari murid-muridnya dahulu sampai dengan sekarang, banyak melahirkan wali-wali besar di Timur maupun di Barat, sehingga ajarannya meluas ke seluruh pelosok dunia. Beliau pulalah yang mengatur pelaksanaan iktikaf atau suluk dari 40 (empat puluh) hari menjadi 10(sepuluh) hari, yang dilaksanakan secara efisien dan efektif, dengan disiplin dan ada suluk yang teguh. Syekh Naqsyabandi wafat pada malam Senin Tanggal 3 Rabi’ul Awal tahun 791 H dalam usia 74 tahun.
Syekh Naqsyabandi meninggalkan banyak penerus, yang paling terhormat diantara mereka adalah Syekh Muhammad bin Muhammad Alauddin al-Khwarazmial-Bukhari al-Attar q.s dan Syaikh Muhammad bin Muhammad bin Mahmoudal-Hafizi q.s, yang dikenal sebagai Muhammad Parsa, penulis Risalah Qudsiyyah. Kepada yang pertamalah Syekh Naqsyabdi meneruskan Ilmunya dan menjadi Ahli Silsilah ke-16

Syekh Muhammmad Baba as Samasiy adalah guru pertama kali dari Syekh Muhammad Bahauddin Ra. yang telah mengetahui sebelumnya tentang akan lahirnya seseorang yang akan menjadi orang besar, yang mulia dan agung baik disisi Allah Swt. maupun dihadapan sesama manusia di desa Qoshrul Arifan yang tidak lain adalah Syekh Bahauddin.

Di dalam asuhan, didikan dan gemblengan dari Syekh Muhammad Baba inilah Syekh Muhammad Bahauddin mencapai keberhasilan di dalam mendekatkan diri kepada Allah Swt. sampai Syekh Muhammad Baba menganugerahinya sebuah “kopiah wasiat al Azizan” yang membuat cita-citanya untuk lebihdekat dan wusul kepada Allah Swt. semakin meningkat dan bertambah kuat.Hingga pada suatu saat, Syekh Muhammad Bahauddin Ra. Melaksanakan sholat lail di Masjid. Dalam salah satu sujudnya hati beliau bergetar dengan getaran yang sangat menyejukkan sampai terasa hadir dihadapan Allah (tadhoru’). Saat itu beliau berdo’a, “Ya Allah berilah aku kekuatan untuk menerima bala’ dan cobaanya mahabbbah (cinta kepadaAllah)”.

Setelah subuh, Syekh Muhammad Baba yang memang seorang waliyullah yangkasyaf (mengetahui yang ghoib dan yang akan terjadi) berkata kepadaSyekh Bahauddin, “Sebaiknya kamu dalam berdo’a begini, “Ya Allahberilah aku apa saja yang Engkau ridloi”. Karena Allah tidak ridlo jikahamba-Nya terkena bala’ dan kalau memberi cobaan, maka juga memberikekuatan dan memberikan kepahaman terhadap hikmahnya”. Sejak saat ituSyekh Bahauddin seringkali berdo’a sesuai dengan apa yang diperintahkanoleh Syekh Muhammad baba.

Untuk lebih berhasil dalam pendekatan diri kepada Sang Kholiq, Syekh Bahauddin sering kali berkholwat menyepikan hatinya dari keramaian dan kesibukan dunia. Ketika beliau berkholwat dengan beberapa sahabatnya,waktu itu ada keinginan yang cukup kuat dalam diri Syekh Bahauddin untuk bercakap-cakap. Saat itulah secara tiba-tiba ada suara yang tertuju pada beliau, “He, sekarang kamu sudah waktunya untuk berpaling dari sesuatu selain Aku (Allah)”. Setelah mendengar suara tersebut,hati Syekh Bahauddin langsung bergetar dengan kencangnya, tubuhnyamenggigil, perasaannya tidak menentu hingga beliau berjalan kesana kemari seperti orang bingung. Setelah merasa cukup tenang, Syekh Bahauddin menyiram tubuhnya lalu wudlu dan mengerjakan sholat sunah duarokaat. Dalam sholat inilah beliau merasakan kekhusukan yang luarbiasa, seolah-olah beliau berkomunikasi langsung dengan Allah Swt.

Saat Syekh Bahauddin mengalami jadzab1 yang pertama kali beliau mendengar suara, “Mengapa kamu menjalankan thoriq yang seperti itu ?“Biar tercapai tujuanku’, jawab Syekh Muhammad Bahauddin. Terdengarlagi suara, “Jika demikian maka semua perintah-Ku harus dijalankan.Syekh Muhammad Bahauddin berkata “Ya Allah, aku akan melaksanakan semampuku dan ternyata sampai 15 hari lamanya beliau masih merasakeberatan. Terus terdengar lagi suara, “Ya sudah, sekarang apa yang ingin kamu tuju ? Syekh Bahauddin menjawab, “Aku ingin thoriqoh yang setiap orang bisa menjalankan dan bisa mudah wushul ilallah”.

Hingga pada suatu malam saat berziarah di makam Syekh Muhammad Wasi’,beliau melihat lampunya kurang terang padahal minyaknya masih banyak dan sumbunya juga masih panjang. Tak lama kemudian ada isyarat untuk pindah berziarah ke makam Syekh Ahmad al Ahfar Buli, tetapi disini lampunya juga seperti tadi. Terus Syekh Bahauddin diajak oleh dua orang ke makam Syekh Muzdakhin, disini lampunya juga sama seperti tadi,sampai tak terasa hati Syekh Bahauddin berkata, “Isyarat apakah ini ?”

Kemudian Syekh Bahauddin, duduk menghadap kiblat sambil bertawajuh dantanpa sadar beliau melihat pagar tembok terkuak secara perlahan-lahan,mulailah terlihat sebuah kursi yang cukup tinggi sedang diduduki oleh seseorang yang sangat berwibawa dimana wajahnya terpancar nur yangn berkilau. Disamping kanan dan kirinya terdapat beberapa jamaah termasuk guru beliau yang telah wafat, Syekh Muhammad Baba.

Salah satu dari mereka berkata, “Orang mulia ini adalah Syekh Muhammad Abdul Kholiq al Ghojdawaniy dan yang lain adalah kholifahnya. Lalu ada yang menunjuk, ini Syekh Ahmad Shodiq, Syekh Auliya’ Kabir, ini Syekh Mahmud al Anjir dan ini Syekh Muhammad Baba yang ketika kamu hidup telah menjadi gurumu. Kemudian Syekh Muhammad Abdul Kholiq alGhojdawaniy memberikan penjelasan mengenai hal-hal yang dialami Syekh Muhammad Bahauddin, “Sesunguhnya lampu yang kamu lihat tadi merupakan perlambang bahwa keadaanmu itu sebetulnya terlihat kuat untuk menerima thoriqoh ini, akan tetapi masih membutuhkan dan harus menambah kesungguhan sehingga betul-betul siap. Untuk itu kamu harus betul-betulmenjalankan 3 perkara :

1. Istiqomah mengukuhkan syariat.

2. Beramar Ma’ruf Nahi mungkar.

3. Menetapi azimah (kesungguhan) dengan arti menjalankan agama dengan mantap tanpa memilih yang ringan-ringan apalagi yang bid’ah dan berpedoman pada perilaku Rasulullah Saw. dan para sahabat Ra.

Kemudian untuk membuktikan kebenaran pertemuan kasyaf ini, besok pagi berangkatlah kamu untuk sowan ke Syekh Maulana Syamsudin al An-Yakutiy,di sana nanti haturkanlah kejadian pertemuan ini. Kemudian besoknya lagi, berangkatlah lagi ke Sayyid Amir Kilal di desa Nasaf dan bawalah kopiah wasiat al Azizan dan letakkanlah dihadapan beliau dan kamu tidak perlu berkata apa-apa, nanti beliau sudah tahu sendiri”.

Syekh Bahauddin setelah bertemu dengan Sayyid Amir Kilal segera meletakkan “kopiah wasiat al Azizan” pemberian dari gurunya. Saat melihat kopiah wasiat al Azizan, Sayyid Amir Kilal mengetahui bahwa orang yang ada didepannya adalah syekh Bahauddin yang telah diwasiatkan oleh Syekh Muhammad Baba sebelum wafat untuk meneruskan mendidiknya.

Syekh Bahauddiin di didik pertama kali oleh Sayyid Amir Kilal dengan kholwat selama sepuluh hari, selanjutnya dzikir nafi itsbat dengan sirri. Setelah semua dijalankan dengan kesungguhan dan berhasil,kemudian beliau disuruh memantapkannnya lagi dengan tambahan pelajaran beberapa ilmu seperti, ilmu syariat, hadist-hadist dan akhlaqnya Rasulullah Saw. dan para sahabat. Setelah semua perintah dari SyekhAbdul Kholiq di dalam alam kasyaf itu benar–benar dijalankan dengan kesungguhan oleh Syekh Bahauddin mulai jelas itu adalah hal yang nyata dan semua sukses bahkan beliau mengalami kemajuan yang sangat pesat.

Jadi toriqoh An Naqsyabandiy itu jalur ke atas dari Syekh Muhammad Abdul Kholiq al Ghojdawaniy ke atasnya lagi dari Syekh Yusuf al Hamadaniy seorang Wali Qutub masyhur sebelum Syekh Abdul Qodir alJailaniy. Syekh Yusuf al Hamadaniy ini kalau berkata mati kepada seseorang maka mati seketika, berkata hidup ya langsung hidup kembali,lalu naiknya lagi melalui Syekh Abu Yazid al Busthomi naik sampaisahabat Abu Bakar Shiddiq Ra. Adapun dzikir sirri itu asalnya dari Syekh Muhammad Abdul Kholiq al ghojdawaniy yang mengaji tafsir dihadapan Syekh Sodruddin. Pada saat sampai ayat, “Berdo’alah kepadaTuhanmu dengan cara tadhorru’ dan menyamarkan diri”…

Lalu beliau berkata bagaimana haqiqatnya dzikir khofiy /dzikir sirridan kaifiyahnya itu ? jawab sang guru : o, itu ilmu laduni dan insyaAllah kamu akan diajari dzikir khofiy. Akhirnya yang memberi pelajaranlangsung adalah nabi Khidhir as.

Pada suatu hari Syekh Muhammad Bahauddin Ra. bersama salah seorang sahabat karib yang bernama Muhammad Zahid pergi ke Padang pasir dengan membawa cangkul. Kemudian ada hal yang mengharuskannya untuk membuang cangkul tersebut. Lalu berbicara tentang ma’rifat sampai datang dalam pembicaraan tentang ubudiyah “Lha kalau sekarang pembicaraan kita sampai begini kan berarti sudah sampai derajat yang kalau mengatakan kepada teman, matilah, maka akan mati seketika”. Lalu tanpa sengaja Syekh Muhammad Bahauddin berkata kepada Muhammad Zahid, “matilah kamu!,Seketika itu Muhammad Zahid mati dari pagi sampai waktu dhuhur.

Melihat hal tersebut Syekh Muhammad Bahauddin Ra. menjadi kebingungan,apalagi melihat mayat temannya yang telah berubah terkena panasnya matahari. Tiba-tiba ada ilham “He, Muhammad, berkatalah ahyi (hiduplahkamu). Kemudian Syekh Muhammad Bahauddin Ra. berkata ahyi sebanyak 3kali, saat itulah terlihat mayat Muhammad Zahid mulai bergerak sedikit demi sedikit hingga kembali seperti semula. Ini adalah pengalaman pertama kali Syekh Muhammad Bahauddin Ra. dan yang menunjukkan bahwabeliau adalah seorang Wali yang sangat mustajab do’anya.

Syekh Tajuddin salah satu santri Syekh Muhammad Bahauddin Ra berkata,“Ketika aku disuruh guruku, dari Qoshrul ‘Arifan menuju Bukhara yang jaraknya hanya satu pos aku jalankan dengan sangat cepat, karena aku berjalan sambil terbang di udara. Suatu ketika saat aku terbang ke Bukhara, dalam perjalanan terbang tersebut aku bertemu dengan guruku.Semenjak itu kekuatanku untuk terbang di cabut oleh Syekh Muhammad Bahauddin Ra, dan seketika itu aku tidak bisa terbang sampai saat ini”.

Berkata Afif ad Dikaroniy, “Pada suatu hari aku berziarah ke SyekhMuhammad Bahauddin Ra. Lalu ada orang yang menjelek-jelekkan beliau.Aku peringatkan, kamu jangan berkata jelek terhadap Syekh Muhammad Bahauddin Ra. dan jangan kurang tata kramanya kepada kekasih Allah. Dia tidak mau tunduk dengan peringatanku, lalu seketika itu ada seranggadatang dan menyengat dia terus menerus. Dia meratap kesakitan lalu bertaubat, kemudian sembuh dengan seketika.

SYECH MUHAMMAD BAHAU’UDDIN NAQSYABANDI DENGAN TAREKATNYA
Peletak dasar Thoriqoh Naqsyabandiyah ini adalah Al-Arif Billah AsySyaikh Muhammad bin Muhammad Bahauddin Syah Naqsyabandi Al-Uwaisi Al-Bukhori radliyallahu anhu (717-865 H) .

Dijelaskan oleh Syaikh Abdul Majid bin Muhammad Al Khaniy dalam bukunyaAl-Hada’iq Al-Wardiyyah , bahwa thoriqoh Naqsabandiyyah ini adalah thoriqohnya para sahabat yang mulia radlallahu anhum sesuai aslinya,tidak menambah dan tidak mengurangi. Ini merupakan untaian ungkapan dari langgengnya (terus menerus) ibadah lahir bathin dengan kesempurnaan mengikuti sunnah yang utama dan ‘azimah yang agung serta kesempurnaan dalam menjauhi bid’ah dan rukh shah dalam segala keadaan gerak dan diam, serta langgengnya rasa khudlur bersama Allah Subhanahuwa ta'ala, mengikuti Nabi Muhammad Shollallahu 'alaihi wa sallam dengansegala yang beliau sabdakan dan memperbanyak dzikir qalbi .

Dzikirnya para guru Naqsyabandiyah adalah qalbiyah (menggunakan Hati), dengan membaca lafadz “Alloh..Alloh” pada 7 tempat lathaif. Dengan itu mereka bertujuan hanya kepada Allah Subhanahu wa ta'ala semata dengan tanpa riya’ , dan mereka tidak mengatakan suatu perkataan dan tidakmembaca suatu wirid kecuali dengan dalil atau sanad dari kitab Allah Subhanahu wa ta'ala atau sunnah Nabi Muhammad Shollallahu 'alaihi wasallam. Adapun 7 macam lathaif tersebut adalah :
Lathifah al-qalb ada di bawah dada kiri, dua jari di bawah payudara …warnanya adalah kuning, dan dia adalah tempat kekuasaan Nabi Adam as,dan asalnya adalah air, udara dan tanah.
Lathifah al-ruh bertempat di sisi bawah susu kanan, berjarak sekitardua jari, warnanya adalah merah, dan merupakan tempat kewenangan Nabi Ibrahhim dan Nuh, dan asalnya adalah api.
Lathifah al-sirr bertempat di atas susu kiri berjarak sekitar dua jari,warnanya adalah putih, tempat kekuasaan Nabi Musa dan asalnya adalahair.
Lathifah al-khafi bertempat di atas susu kanan, berjarak sekitar duajari, warnanya adalah hitam, tempat kekuasaan Nabi Isa, dan asalnyaadalah udara.
Lathifah al-akhfa bertempat di tengah dada, warnanya hijau, tempat kekuasaan Nabi Muhammad saw., asalnya adalah tanah.
Lathifatul al-Nafsi bertempat di anatara kedua mata kepala
Lathifatul Qolab (Jasad) bertempat di seluruh dan sekujur anggota badan, mulai rambut kepala sampai kaki

Dalam tarekat Naqsyabandi ini telah di ajarkan 11 asas dasar ajaran, yakni :
1). “Huwasy Dardam” , yaitu pemeliharaan keluar masuknya nafas, supaya hati tidak lupa kepada Allah SWT atau tetap hadirnya Allah SWT padawaktu masuk dan keluarnya nafas. Setiap murid atau salik menarikkan dan menghembuskan nafasnya, hendaklah selalu ingat atau hadir bersama Allahdi dalam hati sanubarinya. Ingat kepada Allah setiap keluar masuknya nafas, berarti memudahkan jalan untuk dekat kepada Allah SWT, dan sebaliknya lalai atau lupa mengingat Allah, berarti menghambat jalan menuju kepada- Nya.

2). “Nazhar Bar qadlam” yaitu setiap murid atau salik dalam iktikaf/suluk bila berjalan harus menundukkan kepala, melihat ke arahkaki dan apabila dia duduk dia melihat pada kedua tangannya. Dia tidakboleh memperluas pandangannya ke kiri atau ke kanan, karena dikhawatirkan dapat membuat hatinya bimbang atau terhambat untuk berzikir atau mengingat Allah SWT. Nazhar Barqadlam ini lebih ditekankan lagi bagi pengamal tarikat yang baru suluk, karena yangbersangkutan belum mampu memelihara hatinya.

3). “Safar Dar wathan” yaitu perpindahan dari sifat kemanusiaan yang kotor dan rendah, kepada sifat-sifat kemalaikatan yang bersih dan sucilagi utama. Karena itu wajiblah bagi si murid atau salik mengontrol hatinya, agar dalam hatinya tidak ada rasa cinta kepada makhluk.

4). “Khalwat Dar jaman” yaitu setiap murid atau salik harus selalu menghadirkan hati kepada Allah SWT dalam segala keadaan, baik waktusunyi maupun di tempat orang banyak. Dalam Tarikat Naqsyabandiyah adadua bentuk khalwat :

a. Berkhalwat lahir , yaitu orang yang melaksanakan suluk dengan mengasingkan diri di tempat yang sunyi dari masyarakat ramai.

b. Khalwat batin , yaitu hati sanubari si murid atau salik senantiasa musyahadah, menyaksikan rahasia- rahasia kebesaran Allah walaupun berada di tengah- tengah orang ramai.

5). “Ya Dakrad” yaitu selalu berkekalan zikir kepada Allah SWT, baikzikir ismus zat (menyebut Allah, Allah,.), zikir nafi isbat (menyebutla ilaha ilallah), sampai yang disebut dalam zikir itu hadir.

6). “Bar Kasyat” yaitu orang yang berzikir nafi isbat setelah melepaskan nafasnya, kembali munajat kepada Allah dengan mengucap kankalimat yang mullia

“Wahai Tuhan Allah, Engkaulah yang aku maksud (dalam perjalananrohaniku ini) dan keridlaan-Mulah yang aku tuntut” . Sehingga terasadalam kalbunya rahasia tauhid yang hakiki, dan semua makhluk ini lenyapdari pemandangannya.

7).“Nakah Dasyat” yaitu setiap murid atau salik harus memelihara hatinya dari kemasukan sesuatu yang dapat menggoda dan mengganggunya,walaupun hanya sebentar. Karena godaan yang mengganggu itu adalah masalah yang besar, yang tidak boleh terjadi dalam ajaran dasar tarikatini.

Syekh Abu Bakar Al Kattani berkata, “Saya menjaga pintu hatiku selama40 (empat puluh) tahun, aku tiada membukakannya selain kepada AllahSWT, sehingga menjadilah hatiku itu tidak mengenal seseorang pun selaindaripada Allah SWT.”

Sebagian ulama tasawuf berkata “Aku menjaga hatiku 10 (sepuluh) malam,maka dengan itu hatiku menjaga aku selama 20 (duapuluh) tahun.”

.“Bad Dasyat” yaitu tawajuh atau pemusatan perhatian sepenuhnya pada musyahadah, menyaksikan keindahan, kebesaran, dan kemuliaan Allah SWT terhadap Nur Zat Ahadiyah (Cahaya Yang Maha Esa) tanpa disertai dengankata- kata. Keadaan “Bad Dasyat” ini baru dapat dicapai oleh seorang murid atau salik, setelah dia mengalami fana dan baka yang sempurna.Adapun tiga ajaran dasar yang berasal dari Bahauddin Naqsyabandi adalah,

9).“Wuquf Zamani” yaitu kontrol yang dilakukan oleh seorang murid atausalik tentang ingat atau tidaknya ia kepada Allah SWT setiap dua atau tiga jam. Jika ternyata dia berada dalam keadaan ingat kepada Allah SWTpada waktu tersebut, ia harus bersyukur dan jika ternyata tidak, iaharus meminta ampun kepada Allah SWT dan kembali mengingat- Nya.

10).“Wuquf ‘Adadi” yaitu memelihara bilangan ganjil dalam menyelesaikan zikir nafi isbat, sehingga setiap zikir nafi isbat tidak diakhiri dengan bilangan genap. Bilangan ganjil itu, dapat saja 3 (tiga) atau 5(lima) sampai dengan 21 (duapuluh satu), dan seterusnya.

11).“Wuquf Qalbi” yaitu sebagaimana yang dikatakan oleh Syekh Ubaidullah Al- Ahrar, “Keadaan hati seorang murid atau salik yangselalu hadir bersama Allah SWT”. Pikiran yang ada terlebih dahulu dihilangkan dari segala perasaan, kemudian dikumpulkan segenap tenagadan panca indera untuk melakukan tawajuh dengan mata hati yang hakiki,untuk menyelami makrifat Tuhannya, sehingga tidak ada peluang sedikitpun dalam hati yang ditujukan kepada selain Allah SWT, danterlepas dari pengertian zikir.

Selain itu, dalam tarekat ini juga dikenalkan akan tehnik muroqobah, sebanyak 20 macam muroqobah

Demikian kisah keramatnya Syekh Muhammad Bahauddin Ra dan ajaran-ajarannya. Rodiyallah ‘anhu wa a’aada a‘lainaa min barokaatihiwa anwaarihi wa asroorihii wa ‘uluumihii wa akhlaaqihi allahuma amiin.