Minggu, 28 November 2010

SYEKH JAMBUKARANG

Berziarah ke makam Syekh Jambukarang sambil menikmatipanorama puncak perbukitan Cahya di belahan utaraKabupaten Purbalingga, Jawa Tengah.Matahari baru saja menyeruak di ufuk timur ketikasinar kemerah-merahan memancar ke seluruh penjuru.Langkah kaki penduduk desa tampak berjalan beriringanmenuju ladang, menelusuri jalan batu setapak berundakyang di kanan kirinya curam. Embun pagi, udara dingin,dan sepoi angin khas pegunungan, mewarnai perjalananke Makam Syekh Jambukarang, seorang tokoh dakwahIslam untuk kawasan Purbalingga dan sekitarnya.Makamnya terletak di desa Panusupan, KecamatanRembang, Kabupaten Purbalingga. Kawasan makam itu terletak sekitar 20 kilometer arahutara kota Purbalingga. Dibutuhkan waktu sekitar 30menit dengan menggunakan mikro bus jurusanBobotsari-Rembang (arah monumen Jenderal Sudirman).Sesampai di desa Rajawana, perjalanan dilanjutkandengan mobil pick up, bak terbuka jurusanRajawana-Panusupan sekitar empat kilometer. Dari desa Panusupan, perjalanan dilanjutkan denganberjalan kaki sejauh satu kilometer. Jalan setapakyang dilapis semen membelah desa itu mengantar kitamencapai gerbang makam. Di sini, setiap pengunjungdikenai biaya restribusi dan mengisi buku tamu.“Masih jauh, Pak?” tanyaku sambil membayar retribusisebesar 3000 rupiah kepada salah seorang juru kunci.“Sekitar empat kilo lagi, Mas,” jawabnya.Kemudian kita diajak menelusuri jalan selebar satumeter yang kondisinya naik turun di lembah perbukitanhijau pada belahan timur kaki gunung Slamet. Sejauhmata memandang, yang tampak hanya rerimbunan ilalangdan hijaunya perbukitan. Sepanjang perjalanan, sepoiangin pegunungan menghadirkan kicau burung hutanmenemani tiap langkah pendakian. Sesekali berpapasandengan satu rombongan kecil peziarah yang pulang darimakam.Kondisi jalan yang terjal dan licin itu mengharuskankita meluangkan waktu sekitar dua jam meski jaraknyahanya empat kilo. Karenanya perlu stamina dan bekalyang cukup. Sebagian peziarah percaya bahwa makam SyekhJambukarang keramat sehingga menjadi rujukan khusustempat bertawasul, menyampaikan doa dengan perantarawali. “Saya datang ke sini agar dagangan saya makin laris,”tutur Ny. Sutini yang datang dari Kab. Cirebon. Iadatang beserta tiga anggota keluarganya. Umumnya, peziarah datang pada malam Minggu Pon danRabu Pon. Namun, paling ramai ketika pergantian tahun.Banyak anak muda menghabiskan malam panjang di sinisambil menyelami wisata spiritual, meraihberkah-berkah di dalamnya. Peziarah disarankanmengamalkan bacaan ayat Kursi, sebab dalam ayat Kursiterdapat bermacam-macam fadillah.Tiga cahaya.Syeh Jambukarang ketika muda bergelar Adipati Mendang(R. Mundingwangi). Ia putra Prabu Brawijaya MahesaTandreman, Raja Pajajaran I. Sejak muda ia senang dengan ilmu kanuragan. Walauberhak menjadi raja Pajajaran, tetapi ia lebihtertarik menjadi pendeta. Tahta kerajaan diserahkanpada adiknya, R Mundingsari yang dinobatkan pada tahun1190.Ia kemudian bertapa di gunung Jambu Dipa, atau GunugKarang, di Karesidenan Banten, Jawa Barat. Sewaktubertapa terlihat olehnya tiga cahaya di belahan timuryang menjulang tinggi ke angkasa. Maka bersama 160pengikutnya, dicarilah letak cahaya itu. Sungai danpekatnya hutan pegunungan disusuri. Setelah melewati daerah Kerawang, Sungai Comal, GunungCupu, Gunung Kraton sampailah mereka ke Desa Rajawana.Setelah mendaki perbukitan Ardi Lawet, mereka tiba diGunung Panungkulan (gunung Cahya), desa Grantung,kecamatan Karangmoncol, Purbalingga. Di puncak bukititu mereka mendirikan pertapaan.Dalam saat yang bersamaan, di negara Arab ada seorangmubaligh bernama Syekh Atas Angin. Ia keturunanRasulullah SAW dari Sayyidina Ali. Sesudah salatsubuh, ia mendapat ilham bahwa di sebelah timurterdapat tiga cahaya putih yang menjulang tinggi keangkasa. Maka beserta 200 pengiring, ia menempuhperjalanan mencari sumber cahaya itu. Mula-mularombongan ini singgah di Gresik kemudian merapat diPemalang, menuju Gunung Cahya. Di tempat sumber cahayaini, Syekh Atas Angin melihat R Mundingwangi sedangbertapa. “Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakutuh,” sapaSyekh Atas Angin.Yang diberi salam diam saja, sebab Mundingwangi belummemeluk Islam. Keduanya kemudian terlibat dalam adukesaktian. Ternyata Mundingwangi kalah dan bersediamasuk Islam. Selanjutnya Mundingwangi diberi Ilmu Kewalian digunung Kraton yang terletak di sebelah utarapegunungan Cahya dan diberi gelar Pangeran Wali SyekhJambukarang. Konon, pada saat berlangsungnya penurunanIlmu kewalian, semua pegunungan di sekitar bukitKraton puncaknya tunduk mengarah ke gunung Kraton.Tapi ada sebuah gunung yang tidak tunduk puncaknya,maka gunung tersebut diberi nama gunung Bengkeng(membandel). Untuk menyempurnakan keislamannya, PangeranJambukarang menunaikan ibadah haji ke Mekah.Sekembalinya dari Tanah Suci ia dikenal sebagaiMubalig Agung dan diberi gelar Haji Purba. Konon, iajuga memiliki beberapa kekeramatan, pecinya dapatterbang ke angkasa, menumpuk telur di udara satupersatu tidak jatuh, menggandeng tempat-tempat air diangkasa, dan lain-lain.Sebagai rasa terima kasih, Wali Syekh Atas Angindikawinkan dengan salah seorang putrinya, NyaiRubiahbekti. Perkawinan ini melahirkan tiga putra dandua putri, Wali Mahdum Husen, Mahdum Medem, MahdumUmar, Nyai Rubiahraja, dan Nyai Rubiyahsekar. Setelah menamatkan ilmu kewalian pada Syekh AtasAngin, ia kemudian mendirikan padepokan danmenyebarkan dakwah Islam di wilayah Purbalinggadibantu Santri Agung, salah seorang santrinya.Keduanya dikuburkan berdampingan di puncak gunungCahya. Kelak, keturunan Syekh Jambukarang banyak mengabdikepada Kasultanan Demak. Pangeran Wali Makhdum Husein,salah seorang putranya, gigih mengusir tentaraPajajaran yang menyerang daerah Cahyana karenaperbedaan pandangan agama. Salah seorang cicitnya yang sangat berperan dalammenyambung silaturahmi dengan Demak adalah SyekhMahdum Wali Prakosa (Wali yang kuat sekali), yangtidak lain cucu Wali Mahdum Husein. Ia adalah pembuatsoko guru, tiang masjid Demak bersama Sunan Kalijaga.Salah satu tiang tersebut kemudian terkenal dengannama soko tatal. Ia meluruskan arah masjid Demak kekiblat dengan menggunakan palu besar. Sultan Demakmemberikan piagam penghargaan khusus kepada Syeh WaliPrakosa di Cahyana atas pengabdiannya yang besar dalammelakukan dakwah di tanah Jawa

“Sentono Boto Putih”Kiyahi Ageng Brondong

Pangeran Lanang Dangiran Kiyahi Ageng Brondong.
Kang Sumareh Ing Pesarehan “Sentono Boto Putih” Surabaya

Kiyahi Ageng Brondong memiliki keturunan Raden Tumenggung Panji Tjokronegoro I, Bupati Sidoarjo yang pertama, diambil dari silsilah pangeran Lanang Dangiran Kyai Ageng Brondong kang sumareh ing pesarehan sentono Botoputih Surabaya.

Riwayat Hidup Kiyahi Ageng Brondong Botoputih Suroboyo

Konon dituturkan Pangeran Kedawung, disebut juga Sunan Tawangalun adalah raja di Blambangan atau dikatakan juga Bilumbangan. Beliau mempunyai 5 orang anak dan diantaranya ialah pangeran Lanang Dangiran. Diceritakan bahwa Lanang Dangiran pada usia 18 tahun bertapa dilauy dan menghanyutkan dirinya diatas sebuah papan kayu sebuah beronjong (alat penangkap ikan), tanpa makan atau minum, arus air laut dan gelombang membawa Lanang Dangiran hingga dilaut jawa dan akhirnya suatu taufan dan gelombang besar melemparkan Lanang Dangiran dengan beronjongnya dalam keadaan tidak sadar, disebabkan karena berbulan-bulan tidak makan dan minum, dipantai dekat Sedayu.

Seluruh badannya telah dilekati oleh karang, keong serta karang-karang (remis) sehingga badan manusia itu seolah-olah ditempeli dengan bakaran jagung yang disebut dengan bahasa jawa “Brondong” Badan Pangeran Lanang Dangiran diketemukan oleh seorang kiyahi yang bernama Kiyahi Kendil Wesi. Pangeran Lanang Dangiran dirawat oleh Kiyahi Kendil Wesi serta istrinya dengan penuh kasih sehingga sadar kembali dan akhirnya menjadi sehat seperti sediakala.

Pangeran Lanang Dangiran menceritakan asal-usulnya kepada Kiyahi Kendil Wesi. Setelah Kiyahi Kendil Wesi mendapat keterangan tentang asal usulnya Pangeran Lanang Dangiran, maka diceritakan oleh Kiyahi tadi bahwa ia juga asal keturunan dan raja-raja di Blambangan yang bernama Menak Soemandi dimana beliau masih satu keturunan dengan Lanang Dangiran.

Lanang Dangiran tinggal dan kumpul dengan Kiyahi Kendil Wesi, dan dianggap sebagai anaknya kiyahi sendiri. Pangeran Lanang Dangiran memeluk agama Islam, karena rajin dan keteguhan imannya serta keluhuran budinya serta kesucian hatinya, maka tidak lama pula ia dapat tampil kemuka sebagai guru Agama Islam, Pangeran Lanang Dangiran berisitrikan putrid dan Ki Bimotjili dan Panembahan di Cirebon yang asal usulnya dituliskan sebagai berikut :
Pangeran Kebumen Bupati Semarang, berisitrikan putrid dan Sultan Bojong, bernama Prabu Widjaja (Djoko Tingkir). Ki Bomotjili adalah salah satu seorang putra dan Pangeran Kebumen tersebut diatas, seorang putri dan Ki Bimotjilimi bersuamikan Pangeran Lanang Dangiran alias Kiyahi Brondong (dimakamkan di Boto Putih).

Nama Brondong diperoleh karena ia diketemukan oleh Kiyahi Kendil Wesi badannya dilekati dengan “Brondong” Kiyahi Kendil Wesi yang waspada dan mengetahui nasib seseorang, mengatakan kepada Lanang Dangiran yang sudah mendapat sebutan Kiyahi Brondong dan masyarakat sekitar tempat Kiyahi Kendil Wesi, supaya pergi ke Ampel Dento Suroboyo, dan meluaskan ajaran Agama Islam, karena di Surabaya Kiyahi Brondong kelak akan mendapat kebahagiaan serta turun temurunnya kelak akan timbul dan tambah menjadi orang-orang yang mulya.

Kemudian Kiyahi Brondong dengan istrinya dan beberapa anaknya yang masih kecil pergi ke Surabaya dan pada Tahun 1595 menetap diseberang timur kali Pegiri’an, dekat Ampel ialah Dukuh Boto Putih (Batu Putih) ditempat baru inilah Kiyahi Brondong mendapatkan martabat yang tinggi dan masyarakat, karena keluhuran budinya Kiyahi Brondong (pangeran Lanang Dangiran) wafat pada tahun 1638 dalam usia + 70 tahun dan meninggalkan 7 orang anak, diantaranya 2 orang laki-laki yaitu : Honggodjoyo dan Honggowongso.

Bupati Sidoarjo yang pertama adalah keturunan dan Honggodjoyo, Kiyahi Ageng Brondong (Pangeran Lanang Dangiran) dikebumikan ditempat kediamannya sendiri di Botoputih Surabaya makamnya dimulyakan oleh putra-putranya dan selanjutnya dihormati oleh turun-turunnya hingga kini. Semoga arwah beliau diterima Allah Swt, dan Allah Swt juga memberikan kepada seluruh keturunannya Kiyahi Ageng Brondong kemulyaan, kesehatan dan kesejahteraan sebagaimana beliau senantiasa mendoakan cucu cicitnya selama hidupnya.

Ada hal penting yang anda ketahui bahwa bertepatan dengan hari jadi Kabupaten Sidoarjo, pejabat Pemerintah Kabupaten Sidoarjo beserta rombongan merupakan agenda rutin berkunjung ke :
Pesarean Asri ing Pendem untuk nyekar ke makam Bupati pertama Sidoarjo Raden Tumenggung Panji Tjokronegoro I wafat tahun 1863
Ke Pesarehan keluarga Tjondronegoro (belakang masjid Djamik/ Agung Sidoarjo) nyekar Raden Adipati Aryo Panji Tjondronegoro I wafat tahun 1906
Langsung menuju Pesarehan Boto Putih Surabaya ke makam Raden Tumenggung Adipati Aryo Tjondronegoro II (Kanjeng Djimat Djokomono).

Kerajaan Airlangga dan Cikal Bakal Majapahit

Cerita tentang kejayaan kerajaan Airlangga dan cikal bakal asal, asal usul berdirinya kerajaan Mojopahit terkait geografi Kabupaten Sidoarjo. Kabupaten Sidoarjo dikenal nama Kota Delta merupakan daerah yang dikurung sungai besar yakni sungai Porong dan Brantas ditambah sejumlah anak sungai kecil dan sedang mengalir di sejumlah daerah wilayah kabupaten Sidoarjo. Dengan kondisi demikian Sidoarjo termasuk kawasan pertanian yang subur termasuk penghasil polowijo dan memiliki banyak dermaga sungai dan laut pada waktu itu. Menurut cerita sejarah, Sidoarjo termasuk wilayah pemetaan kekuasaan kerajaan Airlangga yang memerintah di Jawa Timur tahun 1028-1042 dan sebagai wilayah cikal bakal berdirinya kerajaan Mojopahit pada pemerintahan R. Widjaja tahun 1293-1309.

Sejarah kejayaan Airlangga mengisahkan, sejak berkuasa di Jawa Timur sejak 1028 menunjukkan sebagai sosok seorang raja yang arif bijaksana, berhasil memajukan bidang pertanian/ perkebunan dan perniagaan/ perdagangan serta menjalin hubungan persahabatan dengan kerajaan diluar pulau Jawa. Sebagai raja yang disegani dan dihormati mampu menciptakan ketentraman, ketertiban artinya tidak ada perang atau kekacauan dikawasan kekuasaannya, hal ini sesuai nama Pusat Kerajaan yakni Kahuripan yang artinya “sumber hidup bahagia”.

Raja Airlangga dilingkungan rakyatnya sangat memperhatikan kerukunan umat beragama, pendeta, petapa dan brahma untuk dilindungi dan disatukan dengan kegiatan kraton. Kegiatan ritual keagamaan dilingkungan dan diluar kraton prabu Airlangga menyempatkan diri untuk menghadirinya, sehingga banyak menanamkan simpatik atas kewibawaan sang prabu sebagai panutan masyarakat sekitarnya.

Ketika ditengah kesibukan menjalankan pemerintahan, sang raja Airlangga dihadapkan permasalahan keluarga kraton karena putrid mahkota kerajaan Dewi Kilisutji tidak bersedia mewarisi tahta kerajaan. Bahkan kabarnya Dewi Kilisutji tidak bersedia mewarisi tahta kerajaan. Bahkan kabarnya Dewi Kilisutji meninggalkan istana untuk bertapa di Paguwat lereng gunung Penanggungan. Tinggal dua putra kerajaan yang terpaksa harus menggantikan kedudukan sebagai raja. Raja Airlangga tidak bias menyerahkan begitu saja kepada salah satu putra mahkota, karena dikhawatirkan akan timbul perpecahan antar saudara yang nantinya saling berebut kekuasaan.

Untuk mencari jalan keluar yang adil dan bijaksana, raja Airlangga atas nasehat para pendeta kerajaan untuk menyerahkan permasalahan tersebut sepenuhnya kepada Empu Bharada yakni seorang Brahmana yang dipandang ahli dan jujur. Jalan yang ditempuh adalah memberi kekuasaan kerajaan di dua wilayah, yakni kerajaan Daha (Kediri) dan kerajaan Djenggala (Sidoarjo) pada tahun 1042. Setelah membagi dua wilayah kerajaan dan menyerahkan kekuasaan kepada kedua putra mahkota, baginda raja Airlangga turun tahta untuk menjadi petapa dan tidak lagi mengurus jalannya pemerintahan kerajaan. Pada tahun 1049 baginda Airlangga wafat, jasadnya dibakar (diperabukan) yang abunya disimpan di sebuah candi didekat desa Belahan sekitar lereng Gunung Penanggugan.

Dalam perjalanan sejarah permerintahan kerajaan kedua putra mahkota bukanlah tercipta kerukunan kedua belah pihak seperti harapan baginda raja Airlangga, tetapi justru saling mempermasalahkan wilayah yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, yang semata untuk memenuhi kebutuhan kemakmuran rakyatnya masing-masing. Kerajaan Daha (Kediri) menguasai dan memiliki area tanah pertanian dan perkebunan yang luas, tanahnya yang subur penghasil penghasil polowijo terbesar yang sangat dibutuhkan pasar rakyat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tetapi karena geografi wilayah tidak mempunyai Bandar pelabuhan niaga untuk menyalurkan dan memasarkan hasil bumi ke daerah lain antar pulau, yang terjadi menumpukan hasil bumi dipasar local berlebihan. Sedang kerajaan Djenggolo (Sidoarjo) sebagai daerah Delta yang dikurung sungai besar dan beberapa wilayah dialiri banyak anak sungai mengalir ke timur laut, banyak dermaga atau pelabuhan niaga besar dan kecil sebagai terminal transit mengangkut hasil bumi antar daerah bahkan sampai keluar pulau Jawa. Tetapi karena tata geografis, Djenggolo tidak banyak memiliki lahan pertanian atau perkebunan untuk diperdagangkan sampai keluar pulau Jawa.

Kondisi kedua wilayah yang berbeda tak berimbang inilah menjadi pemicu “perang saudara” tahta pewaris kerajaan Airlangga. Kedua belah pihak saling memperebutkan dan berusaha menguasai wilayah. Untuk meredam pertikaian antar saudara yang berkepanjangan, atas prakarsa Empu Bharada mempertemukan Putra Mahkota kerajaan Djenggolo yakni Raden Pangeran Asmorobangun dengan Putri Mahkota Kediri, Dewi Sekartadji sebagai permaisuri. Tetapi upaya ini tidak menghasilkan perubahan; kerajaan Daha (Kediri) masih tetap bersikukuh menuntut untuk memiliki pelabuhan niaga yang berada dipesisir uatara laut wilayah kerajaan Jenggolo. Perang saudara terulang kembali terjadi, kali ini kerajaan Daha (Kediri) mengirimkan bala tentara secara besar-besaran ke wilayah kerajaan Jenggolo (Sidoarjo) yang berakhir kekalahan Jenggolo dan kerajaan Daha (Kediri) dapat menyatukan kembali wilayah kedua kerajaan warisan raja Airlangga.

Menurut catatan sejarah, lebih dari dua abad kemudian di daerah Delta Brantas (dulu kerajaan Djenggolo) muncul cikal bakal kerajaan baru. Waktu itu kota kerajaan Singosari pada tahun 1292 diserang mendadak oleh bala tentara Djajakatwang dari Kediri. Akibat peperangan tersebut, raja Kertanegara (raja Singosari) meninggal dalam pertempuran bersama Patih serta beberapa pendeta kerajaan Singosari.

Pada waktu terjadi penyerangan, R. Widjaja putra menantu raja Kertanegara dapat menyelamatkan diri bersama sejumlah pengikutnya (kerabat kraton) lolos dari pengepungan tentara Kediri. Dengan bantuan kepala desa Kudadu sampailah R.Widjaja melarikan diri ke Madura untuk mendapatkan perlindungan dan bantuan dari Adipati Sumenep, Banjakwide alias Wiraradja.

Kemudian Adipati Sumenep Wiraradja menyarankan R.Widjaja untuk pergi mengabdi ke Djajakatwang (raja Kediri). Saran untuk mengabdi ini dilakukan atas pertimbangan karena R. Widjaja hanyalah sebagai putra menantu. Oleh karena itu, R. Widjaja dianugerahi sebidang tanah kosong terletak didesa Tarik kawasan Delta Brantas wilayah Sidaorjo. Konon cerita, atas bantuan orang-orang yang didatangkan dari Madura tanah kosong itu dibuka untuk dijadikan sebuah desa dan tanah yang subur diolah sebagai lahan pertanian dan perkebunan. Karena lahan tersebut sebelumnya banyak ditumbuhi pohon Modjo yang rasanya pahit, kemudian desa tersebut dinamakan desa Mojopahit.

Desa inilah yang menjadi cikal bakal kerajaan baru: Modjopahit. Selanjutnya di daerah Trowulan (Mojokerto) sebagai pusat kerajaan. R. Widjaja mulai memerintah sebagai Raja Modjopahit yang pertama dengan gelar Kertaradjasa Djajawardana memerintah pada tahun 1293 sampai tahun 1309.

KH Musta’in Romly

Hidup kira-kira 1920-1984. Setelah ayahnya wafat, Kiai Musta’in memangku Pesantren Darul Ulum Peterongan, Rejoso (Jombang) dan Syaikh tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, yang memiliki puluhan ribu pengikut di Jawa Timur. Kiai Romly bin Tamim, meninggal dunia pada 1958, dia menggantikan kedudukan ayahnya baik sebagai kiai maupun syaikh tarekat. Baik Kiai Romly maupun Kiai Musta’in sama-sama tidak punya jabatan formal di NU, kecuali pada tingkat lokal.

KH Musta’in Romly lahir di Rejoso pada tanggal 31 Agustus 1931. Sejak kecil ia mendapat didikan langsung dari kedua orang tuanya. Dan baru tahun tahun 1949 M melanjutkan studi di Semarang dan Solo di Akademi Dakwah Al Mubalighoh, diperguruan ini bakat kepemimpinannya menonjol sehingga pada waktu singkat mengajak sahabat-sahabatnya yang berasal dari daerah Jombang mendirikan Persatuan Mahasiswa Jombang. Studi di Lembaga ini diakhiri pada tahun 1954 M.

Pada tahun 1954 M beliau aktif di Nahdhatul Ulama Jombang tempat asalnya dan kemudian menjadi pengurus IPNU Pusat tahun 1954 sampai 1956. Upaya menerpa diri untuk lebih matang sebagai pimpinan Pondok Pesantren, KH Musta’in Romly banyak beranjang sana ke berbagai pondok pesantren dan lemnaga pendidikan pada umumnya. Mulai tingkat nasional sampai internasional. Dalam kaitan inilah pada tahun 1963 M beliau Muhibbah ke Negara-negara Eropa dan Timur Tengah, yang huga berziarah ke makam Syeh Abdul Qodir Al Jailani tokoh pemprakarsa Thoriqoh Qodiriyah, di Irak.

Hal ini penting mengingat beliau adalah Al Mursyid Thariqah Qodiriyah Wannaqsabandiyah mewarisi keguruan KH Romly Tamim dam KH Cholil Rejoso. Oleh-oleh dari kunjungan muhibbah ini antara lain yaitu mendorong berdirinya Universitas Darul Ulum pada tanggal 18 September 1965. Universitas Darul Ulum sendiri diprakasai Dr KH Musta’in Romly, KH Bhisry Cholil, K. Ahmad Baidhowi Cholil, Mohammad Wiyono (mantan Gubernur Jatim), KH Muh. As’ad Umar dan Muhammad Syahrul, SH. Untuk melengkapi keabsahan KH Musta’in Romly sebagai Rektor, pada tahub 1977 beliau mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Macau University. Pada tahun 1981 lawatan ke Timur Tengah dilakukan kembali dengan hasil kerjasama antara Universitas Darul Ulum dan Iraq University dalam bentuk tukar-menukar tenaga edukatif, dan dengan Kuwait University dalam bentuk beasiswa studi ke Kuwait.

Pada tahun 1984 KH Musta’in berkunjung ke Casablanka, Maroko, tepatnya pada bulan Januari 1984, yaitu mengikuti Kunjungan Kenegaraan bersama Wakil Presiden RI Bapak Umar Wirahadi Kusuma dan Menteri Luar Negeri RI Bapak Prof. Dr. Muchtar Kusumaatmadja dalam acara Konverensi Tingkat Tinggi Organisasi Konferensi Islam (OKI). Kunjungan ini dilanjutkan ke Perancis dan Jerman Barat. Selanjutnya pada bulan Juli dengan tahun yang sama, KH Musta’in mengikuti Konferensi antar Rektor se- dunia di Bangkok.

Semua kunjungan dijalani KH Musta’in dengan tekun demi kelembagaan Pendidikan yang dialamatkan beliau, yaitu Lembaga Pondok Pesantren Darul Ulum, Lembaga Thariqah Qoddiriyyah Wannaqsabandiyah dan Universitas Darul Ulum. Sampai wafat pada tanggal 21 Januari 1985, beliau meninggalkan putra-putri M. Rokhmad (almarhun), H. Luqman Haqim dari Ibu Chafsoh Ma’som, Hj Choirun Nisa’ dari Ibu dzurriyatul Lum’ah, H. Abdul Mujib, Ahmada faidah, Chalimatussa’diyah dari Ibu Nyi Hj Djumiyatin Musta’in serta Siti sarah dan Dewi Sanawai dari Ibu Ny. Hj. Latifa.

Adapun jabatan yang pernah diamanahkan kepada Dr. KH Musta’in Romly adalah:

1. Aggota DPR - MPR RI tahun 1983 sampai wafat.
2. Wakil ketua DPP MDI tahun 1984 sampai wafat.
3. Rektor Universitas Darul Ulum tahun 1965 sampai wafat.
4. Al Mursyid Toriqoh Qodiriyah Wannaqwsabandiyah tahun 1958.
5. Ketua Umum Majelis Pimpinan Pondok Pesantren Darul Ulum tahun
1958 sampaiwafat.
6. Anggota BKS Perguruan Tinggi Swasta tahun 1983 sampai wafat.
7. Anggota IAUP ( International Association of University President ) 1981 di
Chicago.
8. Ketua Umum Jam’iyah Thoriqot Mu’tabaroh Indonesia pada tahun 1975 sampai wafat.

Khadratus seykh Al~Mursyid Kh. Romly Tamim

Kh.Romly Tamim kelahiran Rejoso tahun 1888 M. Beliau adalah putra Kyai Haji Tamim yang ketiga. Pengalaman pendidikan diperoleh dari ayah dan kakak iparnya dalam usia muda, sedang masa menjelang dewasanya dididik di Pondok Pesantren Bangkalan Madura seperti ayah kakak yaitu dibawah asuhan Kyai Kholil.

Dari pendidikan ini kemudian diteruskan ke pendidikan tebu ireng yang diasuh oleh Kyai Hasyim asy’ari. Waktu Kyai Romly Tamim sudah ikut membantu sebagai tenaga pengajar, Kyai Hasyim Asy’ari mulai menaruh simpati dan sayangnya kepada tenaga baru tersebut. Dari sisnilah simpati itu berlanjut sehingga pada tahun 1923 Kyai Romly Tamim diambil menantu oleh Kyai Hasyim Asy’ari mmendapatkan Nyi Azzah Dalam perkawinan ini tidak membuahkan satu anakpun.

Seusai pengabdiannya di Tebu Ireng dan setelah merasa gagal pada perkawinan pertama beliau nikah lagi dengan putri desa besuk Jombang yang bernama Nyi Maisyaroh. Perkawinan ini menghasilkan putra Ishomuddin yang telah kembali ke Rahmatullah dan Musta’in Romly. Sepeninggal Nyi Maisaroh belaiau nikah dengan Nyi Khodijah hingga berputra : A. Rifa’I, Sonhaji, A. Dimyati, Moh Damam Hury dan Tamim.

Diakhir hayatnya beliau sebagai Al – mursyid Thoriqot Qodiriyah Wannaqsabandiyah menggantikan kedudukan KH Cholil selama perjalanan hidup ia sempat menulisdan menyususn buku – buku pegangan Thoriqot antara lain Risalatul Waqiah, Risalah Solawat Nariyah dan Tsamratul Fikriyah. Allah SWT memanggil kembali ke alam sana pada 16 Romadhon 1377 atau 16 April 1958.

Syaikh Ahmad Jauhari umar (Mbah Mangli)

Bismillahir Rahmanir Rahiim
Syaikh Ahmad Jauhari Umar dilahirkan pada hari Jum’at legi tanggal 17 Agustus 1945 jam 02.00 malam, yang keesokan harinya bertepatan dengan hari kemerdekaan Negara Republik Indonesia yang diproklamirkan oleh Presiden Soekarno dan Dr. Muhammad Hatta. Tempat kelahiran beliau adalah di Dukuh Nepen Desa Krecek kecamatan Pare Kediri Jawa Timur. Sebelum berangkat ibadah haji, nama beliau adalah Muhammad Bahri, putra bungsu dari bapak Muhammad Ishaq. Meskipun dilahirkan dalam keadaan miskin harta benda, namun mulia dalam hal keturunan. Dari sang ayah, beliau mengaku masih keturunan Sultan Hasanudin bin Sunan Gunung Jati, dan dari sang ibu beliau mengaku masih keturunan KH Hasan Besari Tegal Sari Ponorogo Jawa Timur yang juga masih keturunan Sunan Kalijogo.
Pada masa kecil Syaikh Ahmad Jauhari Umar dididik oleh ayahanda sendiri dengan disiplin pendidikan yang ketat dan sangat keras. Diantaranya adalah menghafal kitab taqrib dan maknanya dan mempelajari tafsir Al-Qur’an baik ma’na maupun nasakh mansukhnya.
Masih diantara kedisiplinan ayah beliau dalam mendidik adalah : Syaikh Ahmad Jauhari Umar tidak diperkenankan berteman dengan anak-anak tetangga dengan tujuan supaya Syaikh Ahmad Jauhari Umar tidak mengikuit kebiasaan yang tidak baik yang dilakukan oleh anak-anak tetangga. Syaikh Ahmad Jauhari Umar dilarang merokok dan menonton hiburan seperti orkes, Wayang, ludruk dll, dan tidak pula boleh meminum kopi dan makan diwarung. Pada usia 11 tahun Syaikh Ahmad Jauhari Umar sudah mengkhatamkan Al-Qur’an semua itu berkat kegigihan dan disiplin ayah beliau dalam mendidik dan membimbing.
Orang tua Syaikh Ahmad Jauhari Umar memang terkenal cinta kepada para alim ulama terutama mereka yang memiliki barakah dan karamah. Ayah beliau berpesan kepada Syaikh Ahmad Jauhari Umar agar selalu menghormati para ulama. Jika sowan (berkunjung) kepada para ulama supaya selalu memberi uang atau jajan (oleh-oleh). Pesan ayahanda tersebut dilaksanakan oleh beliau, dan semua ulama yang pernah diambil manfaat ilmunya mulai dari Kyai Syufa’at Blok Agung Banyuwangi hingga KH. Dimyathi Pandegelang Banten, semuanya pernah diberi uang atau jajan oleh Syaikh Ahmad Jauhari Umar.
Sebenarnya, Syaikh Ahmad Jauhari Umar pernah menganut faham wahabi bahkan sampai menduduki posisi wakil ketua Majlis Tarjih Wahabi Kaliwungu. Adapun beberapa hal yang menyebabkan Syaikh Ahmad Jauhari Umar pindah dari faham wahabi dan menganut faham ahlussunah diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Beliau pernah bermimpi bertemu dengan kakek beliau yaitu KH. AbduLlah Sakin yang wafat pada tahun 1918 M, beliau berwasiyat kepada Syaikh Ahmad Jauhari Umar bahwa yang benar adalah faham ahlussunah.
2. Syaikh Ahmad Jauhari Umar pernah bertemu dengan KH Yasin bin ma’ruf kedunglo kediri, pertemuan itu terjadi di warung / rumah makan Pondol Pesantren Lirboyo Kediri yang berkata kepada Syaikh Ahmad Jauhari Umar bahwa Syaikh Ahmad Jauhari Umar kelak akan menjadi seorang ulama yang banyak tamunya. Dan ucapan KH Yasin tersebut terbukti, beliau setiap hari menerima banyak tamu.
3. Syaikh Ahmad Jauhari Umar pernah berjumpa dengan Sayyid Ma’sum badung Madura yang memberi wasiyat bahwa kelak Syaikh Ahmad Jauhari Umar banyak santrinya yang berasal dari jauh. Dan hal itu juga terbukti.
4. Syaikh Ahmad Jauhari Umar bertemu dengan KH Hamid AbdiLlah Pasuruan, beliau berkata bahwa kelak Syaikh Ahmad Jauhari Umar akan dapat melaksanakan ibadah haji dan menjadi ulama yang kaya. Dan terbukti beliau sampai ibadah haji sebanyak lima kali dan begitu juga para putera beliau.
Hal tersebutlah yang menyebabkan Syaikh Ahmad Jauhari Umar menganut faham ahlussunah karena beliau merasa heran dan ta’jub kepada para ulama ahlussunah seperti tersebut di atas yang dapat mengetahui hal-hal rahasia ghaib dan ulama yang demikian ini tidak dijumpainya pada ulama-ulama golongan wahabi.
Dalam menghadapi setiap cobaan yang menimpa, Syaikh Ahmad Jauhari Umar memilih satu jalan yaitu mendatangi ulama. Adapun beberapa ulama yang dimintai do’a dan barokah oleh beliau diantaranya adalah :
1. KH. Syufa’at Blok Agung Banyuwangi.
2. KH. Hayatul Maki Bendo Pare Kediri.
3. KH. Marzuki Lirboyo Kediri.
4. KH. Dalhar Watu Congol Magelang.
5. KH. Khudlori Tegal Rejo Magelang.
6. KH. Dimyathi Pandegelang Banten.
7. KH. Ru’yat Kaliwungu.
8. KH. Ma’sum Lasem.
9. KH. Baidhawi Lasem.
10. KH. Masduqi Lasem.
11. KH. Imam Sarang.
12. KH. Kholil Sidogiri.
13. KH Abdul Hamid AbdiLlah Pasuruan.
Selesai beliau mendatangi para ulama, maka ilmu yang didapat dari mereka beliau kumpulkan dalam sebuah kitab “Jawahirul Hikmah”.
Kemudian beliau mengembara ke makam – makam para wali mulai dari Banyuwangi sampai Banten hingga Madura. Sewaktu beliau berziarah ke makam Syaikh Kholil Bangkalan Madura, Syaikh Ahmad Jauhari Umar bertemu dengan Sayyid Syarifuddin yang mengaku masih keturunan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani RA. Kemudian Sayyid Syarifuddin memberikan ijazah kepada Syaikh Ahmad Jauhari Umar berupa amalan ‘MANAKIB JAWAHIRUL MA’ANY’ dimana amalan manakib Jawahirul Ma’any tersebut saat ini tersebar luas di seluruh Indonesia karena banyak Fadhilahnya bahkan sampai ke negara asing seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Pakistan, tanzania, Afrika, Nederland, dll.
Syaikh Ahmad Jauhari Umar pernah mengalami masa-masa yang sulit dalam segala hal. Bahkan ketika putera beliau masih berada di dalam kandungan, beliau diusir oleh keluarga isteri beliau sehingga harus pindah ke desa lain yang tidak jauh dari desa mertua beliau kira-kira satu kilometer. Ketika putera beliau berumur satu bulan, beliau kehabisan bekal untuk kebutuhan sehari-hari kemudian Syaikh Ahmad Jauhari Umar memerintahkan kepada isteri beliau untuk pulang meminta makanan kepada orang tuanya. Dan Syaikh Ahmad Jauhari Umar berkata, “Saya akan memohon kepada Allah SWT”. Akhirnya isteri beliau dan puteranya pulang ke rumah orang tuanya.
Kemudian Syaikh Ahmad Jauhari Umar mengambil air wudhu untuk melaksanakan shalat duha dan dilanjutkan membaca manakib Jawahirul Ma’any. Ketika tengah membaca Manakib, beliau mendengar ada orang di luar rumah memberikan ucapan salam kepada beliau, dan beliau jawab di dalam hati kemudian beliau tetap melanjutkan membaca Manakib Jawahirul Ma’any hingga khatam. Setelah selesai membaca Manakib, maka keluarlah beliau seraya membukakan pintu bagi tamu yang memberikan salam tadi.
Setelah pintu terbuka, tenyata ada enam orang yang bertamu ke rumah beliau. Dua orang tamu memberi beliau uang Rp 10.000, dan berpesan supaya selalu mengamalkan Manakib tersebut. Dan sekarang kitab manakib tersebut sudah beliau ijazahkan kepada kaum Muslimin dan Muslimat agar kita semua dapat memperoleh berkahnya. Kemudian dua tamu lagi memberi dua buah nangka kepada beliau, dan dua tamu lainnya memberi roti dan gula.
Kemudian Syaikh Ahmad Jauhari Umar selalu melaksanakan pesan tamu-tamu tersebut yang menjadi amalan beliau sehari-hari. Tidak lama setelah itu, setiap harinya Syaikh Ahmad Jauhari Umar diberi rizki oleh Allah senanyak Rp. 1.500 hingga beliau berangkat haji untuk pertamakali pada tahun 1982.
Kemudian pada tahun 1983 Syaikh Ahmad Jauhari Umar menikah dengan Sa’idah putri KH As’ad Pasuruan. Setelah pernikahan ini beliau setiap hari diberi rizki oleh Allah sebanyak Rp 3.000 mulai tahun 1983 hingga beliau menikah dengan puteri KH. Yasin Blitar.
Setelah pernikahan ini Syaikh Ahmad Jauhari Umar setiap hari diberi rizki oleh Allah SWT sebanyak Rp.11.000 sampai beliau dapat membangun masjid. Selesai membangun masjid, Syaikh Ahmad Jauhari Umar setiap hari diberi rizki oleh Allah sebanyak Rp. 25.000 hingga beliau membangun rumah dan Pondok Pesantren.
Setelah membangun rumah dan Pondok Pesantren, Syaikh Ahmad Jauhari Umar tiap hari diberi rizki oleh Allah SWT sebanyak Rp.35.000 hingga beliau ibadah haji yang kedua kalinya bersama putera beliau Abdul Halim dan isteri beliau Musalihatun pada tahun 1993.
Setelah beliau melaksanakan ibadah haji yang kedua kalinya pada tahun 1993, Syaikh Ahmad Jauhari Umar setiap hari diberi rizki oleh Allah sebanyak Rp 50.000 hingga tahun 1995 M. Setelah Syaikh Ahmad Jauhari Umar melaksanakan ibadah haji yang ketiga kalinya bersama putera beliau Abdul Hamid dan Ali Khazim, Syaikh Ahmad Jauhari Umar setiap hari diberi rizki oleh Allah sebanyak Rp. 75.000 hingga tahun 1997.
Setelah Syaikh Ahmad Jauhari Umar menunaikan ibadah haji yang keempat kalinya pada tahun 1997 bersama putera beliau HM Sholahuddin, Syaikh Ahmad Jauhari Umar diberi rizki oleh Allah setiap hari Rp. 200.000 hingga tahun 2002.
Kemudian Syaikh Ahmad Jauhari Umar berangkat haji yang ke limakalinya bersama dua isteri dan satu menantu beliau, Syaikh Ahmad Jauhari Umar setiap hari diberi rizki oleh Allah SWT sebanyak Rp. 300.000 sampai tahun 2003 M.
Di Pasuruan, Syaikh Ahmad Jauhari Umar mendirikan Pondok Pesantren tepatnya di Desa Tanggulangin Kec. Kejayan Kab. Pasuruan yang diberi nama Pondok Pesantren Darussalam Tegalrejo.
Di desa tersebut Syaikh Ahmad Jauhari Umar diberi tanah oleh H Muhammad seluas 2.400 m2 kemudian H Muhammad dan putera beliau diberi tanah oleh Syaikh Ahmad Jauhari Umar seluas 4000m2 sebagai ganti tanah yang diberikan dahulu.
Sejak saat itu Syaikh Ahmad Jauhari Umar mulai membangun masjid dan madrasah bersama masyarakat pada tahun 1998. namun sayangnya sampai empat tahun pembangunan masjid tidak juga selesai. Akhirnya Syaikh Ahmad Jauhari Umar memutuskan masjid yang dibangun bersama masyarakat harus dirobohkan, demikian ini atas saran dan fatwa dari KH. Hasan Asy’ari Mangli Magelang Jawa Tengah (Mbah Mangli – almarhum), dan akhirnya Syaikh Ahmad Jauhari Umar membangun masjid lagi bersama santri pondok. AlhamduliLlah dalam waktu 111 hari selesailah pembangunan masjid tingkat tanpa bantuan masyarakat. Kemudian madrasah-madrasah yang dibangun bersama masyarakat juga dirobohkan dan diganti dengan pembangunan pondok oleh santri-santri pondok
Maka mulailah Syaikh Ahmad Jauhari Umar mengajar mengaji dan mendidik anak-anak santri yang datang dari luar daerah pasuruhan, hingga lama kelamaan santri beliau menjadi banyak. Pernah suatu hari Syaikh Ahmad Jauhari Umar mengalami peristiwa yang ajaib yaitu didatangi oleh Syaikh Abi Suja’ pengarang kitab Taqrib yang mendatangi beliau dan memberikan kitab taqrib dengan sampul berwarna kuning, dan kitab tersebut masih tersimpan hingga sekarang. Mulai saat itu banyak murid yang datang terlebih dari Jawa Tengah yang kemudian banyak menjadi kiyahi dan ulama.
Silsilah Syaikh Ahmad Jauhari Umar :
a. Dari ayah beliah adalah sbb :
1. Syaikh Ahmad Jauhari Umar bin
2. H. Thohir/Muhammad Ishaq bin
3. Umarudin bin
4. Tubagus Umar bin
5. AbduLlah Kyai Mojo bin
6. Abu Ma’ali Zakariya bin
7. Abu Mafakhir Ahmad Mahmud Abdul qadir bin
8. Maulana Muhammad Nasiruddin bin
9. Maulana Yufus bin
10. Hasanuddin Banten bin
11. HidayatuLlah Sunan Gunung Jati bin
12. AbduLlah Imamuddin bin
13. Ali Nurul ‘Alam bin
14. Jamaluddin Akbar bin
15. Jalaluddin Syad bin
16. AbduLlah Khon bin
17. Abdul Malik Al-Muhajir Al-Hindi bin
18. Ali Hadzramaut bin
19. Muhammad Shahib Al-Mirbath bin
20. Ali Khola’ Qasim bin
21. Alwi bin UbaidiLlah bin
22. Ahmad Al-Muhajir bin
23. Isa Syakir bin
24. Muhammad Naqib bin
25. Ali Uraidzi bin
26. Ja’far As-Shadiq bin
27. Muhammad Al-Baqir bin
28. Imam Ali Zainal Abidin bin
29. Imam Husain bin
30. Sayyidatina Fatimah Az-Zahra binti
31. Sayyidina Muhammad RasuluLlah SAW.
b. Silsilah Syaikh Ahmad Jauhari Umar dari Ibu :
1 Syaikh Ahmad Jauhari Umar bin
2 KH Thahir bin/Moh Ishaq bin
3 Umarudin bin
4 Tuba bin
5 H. Muhammad Nur Qesesi bin
6 Pangeran Bahurekso bin
7 Syeh Nurul Anam bin
8 Pangeran Cempluk bin
9 Pangeran Nawa bin
10 Pangeran Arya Mangir bin
11 Pangeran Pahisan bin
12 Syekh Muhyidin Pamijahan bin
13 Ratu Trowulan bin
14 Ratu Ta’najiyah bin
15 Pangeran Trowulan Wirocondro bin
16 Sulthan Abdur rahman Campa bin
17 Raden rahmat Sunan Ampel bin
18 Maulana Malik Ibrahim bin
19 Jalaluddin bin
20 Jamaludin Husen bin
21 AbduLlah Khon bin
22 Amir Abdul Malik bin
23 Ali Al-Anam bin
24 Alwi Al-Yamani bin
25 Muhammad Mu’ti Duwailah bin
26 Alwi bin
27 Ali Khola’ Qasim bin
28 Muhammad Shahib Al-Mirbath bin
29 Ali Ba’lawi bin
30 Muhammad Faqih Al-Muqaddam bin
31 AbduLlah AL-Yamani bin
32 Muhammad Muhajir bin
33 ‘Isa Naqib Al-basyri bin
34 Muhammad Naqib Ar-Ruumi bin
35 Ali Uraidzi bin
36 Ja’far Shadiq bin
37 Muhammad Al-baqir bin
38 Ali Zainal Abidin bin
39 Husein As-Sibthi bin
40 Sayyidatinaa Fatimah Az-Zahra bin
41 Sayyidina Muhammad RasuluLlah SAW.
Meskipun beliau telah berpulang ke RahmatuLlah semoga Beliau mendapat tempat yang mulia di sisi-Nya, dan berkah beliah selalu mengalir kepada kita semua….Amin

Keteladanan K.H. Ali Ma’shum

K.H. Ali Ma’shum dilahirkan di Lasem kota mana terletak di pesisir utara pulau Jawa masuk wilayah kabupaten Rembang Jawa Tengah. Ia lahir pada 2 Maret 1915 dari buah pernikahan K.H. Ma’shum dan Ny. Nuriyah. Kedua orang tuanya merupakan figur dan tokoh agama kharismatik yang selain disegani juga menjadi tempat pengaduan persoalan hidup masyarakat kebanyakan. (Muhdlor, 1989: 4)
Kyai Ali [kecil] lahir di tengah gencarnya kaum pembaharu melakukan serangan terhadap peranan pondok pesantren yang identik dengan institusi pendidikan tradisional. Kendati demikian, ayahnya tidak mengarahkan Kyai Ali untuk menjauhi pesantren. Bahkan ia dididik agar semakin mencintai pesantren. Maklum, ayahnya sendiri merupakan produk pesantren. Kakeknya, K.H. Ahmad Abdul Karim, juga demikian. Sehingga nyaris riwayat pendidikan Kyai Ali, juga seluruh saudaranya, tidak pernah mengenyam pendidikan formal, baik yang didirikan oleh Belanda, Jepang atau kelompok masyarakat Indonesia sendiri. (Muhdlor, 1989: 5)
Di bawah asuhan langsung ayahnya, Kyai Ali menerima pendidikan. Semula, ayahnya menghendaki Kyai Ali menjadi seorang ahli ilmu Fiqih. Karenanya, setiap hari Kyai Ali selalu diajari kitab-kitab fiqih. Namun kecenderungannya ternyata berseberangan dengan keinginan ayahnya. Kyai Ali justru lebih senang mempelajari kitab-kitab nahwu dan sharaf.
Setelah beranjak remaja, Kyai Ali dikirim ayahnya untuk berguru kepada K.H. Dimyathi Tremas pada tahun 1927. Di Tremas, selama tiga tahun tidak pernah pulang sekalipun ke Lasem. Hal ini dilakukan Kyai Ali untuk membuktikan tradisi bahwa seorang santri yang selama tiga tahun pertama sejak kedatangannya tidak pulang kampung merupakan pertanda kesuksesan mencari ilmu dan kelak akan menjadi ulama besar.
Di Tremas, Kyai Ali mempelajari banyak kitab kuning. Di antaranya Fathul Mu’in, Tafsir Jalalain, Alfiyah ibn Malik, Minhajul Qawim dan Sahih Bukhari Muslim. Meski awalnya Kyai Ali ingin menghuni pondokan sebagaimana santri pada umumnya namun atas perintah K.H. Dimyathi, ia disuruh tinggal di ndalem. Akhirnya Kyai Ali tinggal sekamar dengan Gus Muhammad, putra K.H. Mahfudz al-Tarmasyi kakak K.H. Dimyathi.
Kyai Ali memang cerdas dan cepat menguasai materi-materi pelajaran yang diajarkan padanya. Karena itulah oleh K.H. Dimyathi, Kyai Ali dipercaya untuk ikut membantu mengajar para santri. Dari sinilah karir intelektualitas dan popularitas Kyai Ali perlahan-lahan menanjak. Ia disegani tidak hanya karena putra dari seorang ulama besar dan kharismatik, tetapi lebih-lebih karena kekuatan pribadi dan pengusaan ilmunya yang luas. Bakat-bakat keulamaan sudah mulai tampak dari sini. (Muhdlor, 1989: 9)
Hal ini terlihat dari semangat membaca yang begitu menggelora. Kyai Ali tidak saja membaca kitab-kitab yang diajarkan kyainya atau kitab-kitab klasik karya ulama salaf, kitab-kitab para pembaharupun habis dilahapnya. Misalnya, Tafsir al-Manar karya Rasyid Ridla, Tafsir al-Maragi karya Musthafa al-Maraghi dan Fatawa Ibn Taimiyyah karya ibn Taimiyyah. (Muhdlor, 1989: 10) Kitab-kitab yang “masih asing” di dunia pesantren itu diperoleh Kyai Ali, di antaranya, dari murid-murid ayahnya, juga dari keluarga besar Tremas yang datang dari Mekah.
Kegemaran membaca ini menjadikan Kyai Ali sebagai seorang pemuda yang meski masih belia namun memiliki wawasan pengetahuan yang menua. Di antara sekian banyak ilmu yang dipelajari, agaknya ilmu Tafsir al-Qur’an dan ilmu Bahasa Arab sangat menyita perhatiannya. Fakta inilah yang kelak mengantarkan Kyai Ali tersohor di antara sedikit ilmuwan Indonesia yang fasih dan kompeten di bidang bahasa Arab. Sehingga banyak orang menyebut Kyai Ali sebagai “Munjid berjalan.”
Pada tahun 1932 di Tremas didirikan sebuah madrasah yang sebelumnya merupakan hal tabu di pesantren. Selain Gus Hamid Dimyathi, salah satu putra K.H. Dimyathi, Kyai Ali disebut-sebut juga sebagai pelopor modernisasi pesantren Tremas tersebut. Kendati berat hati akhirnya K.H. Dimyathi merestui berdirinya madrasah di pesantren Tremas. (Muhdlor, 1989: 11) Keberanian Kyai Ali menyuntikkan perubahan menjadi poin tersendiri bagi kepribadiannya. Ke depan, Kyai Ali memang identik dengan seorang yang selalu gelisah dan tampil dengan ide-ide pembaruan yang segar. Setelah delapan tahun di Tremas, Kyai Ali berpamitan untuk kembali ke Lasem. Madrasah diserahkan kepada Gus Hamid Dimyathi saat menggantikan ayahnya, K.H. Dimyathi, yang wafat dua tahun setelah madrasah didirikan, tahun 1934.
Sekembalinya ke Lasem, Kyai Ali mencurahkan segenap tenaga untuk membantu mengajar di pesantren ayahnya. Di samping mengajar beberapa disiplin ilmu, Kyai Ali sangat intens mengajarkan bahasa Arab dan Tafsir al-Qur’an. Ali membawa angin segar bagi pembaruan di pesantren Lasem tersebut. Pada tahun 1938 Kyai Ali menyunting Hasyimah puteri ulama masyhur di bidang al-Qur’an, K.H. Munawir, dari Krapyak Yogyakarta. (Muhdlor, 1989: 15) Hanya berselang beberapa hari saat mereguk manisnya malam pengantin baru, Kyai Ali ditawari seorang dermawan bernama H. Djunaid untuk menunaikan haji ke Mekah. Walaupun dengan berat hati, kesempatan emas itu tidak ia sia-siakan.
Selain menunaikan haji, di Mekah Kyai Ali juga berguru kepada ulama-ulama besar di sana semisal Sayyid Alwi al-Maliki dan Sayyid Umar Hamdan. Di Mekah ia mendalami disiplin ilmu Hadis sekaligus memfasihkan bahasa Arabnya. Kyai Ali hanya dua tahun di Mekah. (Muhdlor, 1989: 17)
Di Indonesia saat itu situasi amat genting. Masa-masa transisi penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang serta perlawan bahu membahu oleh para pejuang untuk merebut kemerdekaan secara tidak langsung menipiskan animo banyak orang untuk belajar di pesantren. Pesantren asuhan K.H. Ma’shum di Lasem juga terkena imbasnya. Demikian pula pesantren Krapyak di bawah kepemimpinan K.H. Munawir. Kyai Ali yang sekembali dari Mekah berjuang mati-matian menghidupkan pesantren Lasem, akhirnya terpanggil juga untuk kembali ke Krapyak. Apalagi setelah K.H. Munawir wafat pada 1942, pesantren Krapyak semakin lengang. Akhirnya Kyai Ali hijrah ke Krapyak untuk “mengaktifkan” kembali pesantren mertuanya itu.
Langkah pertama yang ditempuh Kyai Ali adalah mengkader “ahlul bait“ keluarga Krapyak. Mereka adalah Abdul Qadir, Mufid Mas’ud, Nawawi Abdul Aziz, Dalhar, Zainal Abidin Munawir, Ahmad Munawir dan Achmad Warson Munawir. Kaderisasi ini dibenarkan oleh K.H. Zainal Abidin Munawwir, pengasuh pesantren Krapyak sekarang. Kyai Zainal menegaskan bahwa semasa dididik Kyai Ali dirinya “dipaksa” untuk bisa menguasai kitab-kitab kuning. Terhadap “ahlul bait”, tambah Kyai Zainal, Kyai Ali dikenal sangat keras. Hampir tak ada waktu untuk santai. Setiap “ahlul bait” selalu dipantau perkembangan ilmunya. Dalam pengamatan Kyai Ali membangun potensi keulamaan keluarga Krapyak patut diutamakan untuk membangkitkan aura kebesaran pesantren Krapyak di kemudian hari. Dan benar, apa yang dilakukan Kyai Ali telah menuai hasil yang menggembirakan. “Ahlul bait” yang digemblengnya di kemudian hari tampil menyemarakkan dinamika kehidupan di pesantren Krapyak. Bahkan Ahmad Warson Munawir berhasil menerbitkan kamus bahasa Arab al-Munawwir yang sampai sekarang menjadi kamus standar di dunia pesantren. Putranya sendiri, Attabik Ali bersama A. Zuhdi Muhdlor juga mampu menghasil kamus bahasa Arab kontemporer al-Asyri.
Di bawah asuhan Kyai Ali, pesantren Krapyak berkembang pesat. Perlahan-lahan pesantren Krapyak memiliki sarana pendidikan yang cukup komplit, yakni Taman Kanak-kanak, Madrasah Diniyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, Takhassus dan Tahfidz al-Qur’an. Hingga demikian, terjadi keseimbangan antara pengajian al-Qur’an dan pengajian kitab-kitab kuning. (Muhdlor, 1989: 25) Santri hasil didikannya juga tersebar di berbagai daerah di Indonesia, bahkan sebagian [pernah] menjadi orang-orang penting di negeri ini. Keberhasilan Kyai Ali tidak terlepas dari ketelatenannya “mengawasi” para santri. Semua gerak-gerik santri selalu terpantau oleh Kyai Ali. Kedekatan dengan para santri menjadi ciri khas Kyai Ali. Kyai Ali gemar membangunkan santri untuk diajak shalat tahajud dan subuh secara berjamaah.
Dalam hal pengajian, hampir seluruh waktu Kyai Ali disediakan untuk mengajar dan mendidik santri. Sore hingga Isya mengajar santri dengan sistem bandongan. Sistem bandongan dilakukan dengan seorang kyai membaca kitab sementara para santri menyimak kitab yang sama untuk disyarahi. Dalam sistem ini yang aktif adalah kyainya. Santri lebih banyak mendengarkan penjelasan kyai terhadap materi yang dibaca. Jenis kitab yang dibaca Kyai Ali dengan sistem ini kebanyakan adalah kitab Tafsir, Hadis dan Fiqh. Sedang di pagi hari setelah subuh mengajar dengan sistem sorogan. Sistem ini kebalikan dari sistem bandongan. Di sini menuntuk keaktifan santri untuk membaca kitab, sedangkan kyai tinggal menyimak dan membenarkan jika bacaan tersebut salah. Sistem ini diyakini keampuhannya dalam membentuk kualitas keilmuan santri sebab santri dituntut untuk mempersiapkan banyak  hal sebelum membaca kitab di hadapan kyai. Santri juga dilatih memberi penjelasan secara runtut terhadap apa yang dibaca dalam kitab. Dengan demikian, santri memiliki kesempatan luas untuk mengeksplorasi potensi keilmuan yang mendekam dalam dirinya. Di samping itu, Kyai Ali juga kerap menggelar pengajian selapanan (36 hari) yang diikuti oleh masyarakat umum.
Namun pada akhir Desember 1986, ketika memberi ceramah dalam rangka peringatan haul K.H. Bisri Mustafa di Rembang, seorang pemuda tiba-tiba menyerang Kyai Ali bertubi-tubi dengan menggunakan benda tajam. Tak ayal, Kyai Ali pun tersungkur dan segera dilarikan ke rumah sakit Rembang. Tragis. Setelah peristiwa itu kesehatan Kyai Ali terus menurun. Hingga ketika Muktamar NU tahun 1987 digelar di pesantren Krapyak, Kyai Ali hanya sanggup mengikuti dari bilik kamarnya. Dan pada 7 Desember 1989 Kyai Ali meninggal dunia saat menjalani perawatan di RSU Sardjito, Yogyakarta. []

Sekilas Riwayat Syaikh Ahmad Jauhari Umar

Sekilas Riwayat Syaikh Ahmad Jauhari Umar
Diantara rekan pembaca ada yang menginginan sekilas riwayat hidup Syaikh Ahmad Jauhari umar. Oleh karena itu dengan segala kekurangan kami ketengahkan di sini sekilas riwayat Syaikh Ahmad Jauhari Umar Penyiar amalan manakib Jawahirul Maâany.
Syaikh Ahmad Jauhari Umar dilahirkan pada hari Jumat legi tanggal 17 Agustus 1945 jam 02.00 malam, yang keesokan harinya bertepatan dengan hari kemerdekaan Negara Republik Indonesia yang diproklamirkan oleh Presiden Soekarno dan Dr. Muhammad Hatta. Tempat kelahiran beliau adalah di Dukuh Nepen Desa Krecek kecamatan Pare Kediri Jawa Timur. Sebelum berangkat ibadah haji, nama beliau adalah Muhammad Bahri, putra bungsu dari bapak Muhammad Ishaq. Meskipun dilahirkan dalam keadaan miskin harta benda, namun mulia dalam hal keturunan. Dari sang ayah, beliau mengaku masih keturunan Sultan Hasanudin bin Sunan Gunung Jati, dan dari sang ibu beliau mengaku masih keturunan KH Hasan Besari Tegal Sari Ponorogo Jawa Timur yang juga masih keturunan Sunan Kalijogo.
Pada masa kecil Syaikh Ahmad Jauhari Umar dididik oleh ayahanda sendiri dengan disiplin pendidikan yang ketat dan sangat keras. Diantaranya adalah menghafal kitab taqrib dan maknanya dan mempelajari tafsir Al-Quran baik mana maupun nasakh mansukhnya.
Masih diantara kedisiplinan ayah beliau dalam mendidik adalah : Syaikh Ahmad Jauhari Umar tidak diperkenankan berteman dengan anak-anak tetangga dengan tujuan supaya Syaikh Ahmad Jauhari Umar tidak mengikuit kebiasaan yang tidak baik yang dilakukan oleh anak-anak tetangga. Syaikh Ahmad Jauhari Umar dilarang merokok dan menonton hiburan seperti orkes, Wayang, ludruk dll, dan tidak pula boleh meminum kopi dan makan diwarung. Pada usia 11 tahun Syaikh Ahmad Jauhari Umar sudah mengkhatamkan Al-Qur’an semua itu berkat kegigihan dan disiplin ayah beliau dalam mendidik dan membimbing.
Orang tua Syaikh Ahmad Jauhari Umar memang terkenal cinta kepada para alim ulama terutama mereka yang memiliki barakah dan karamah. Ayah beliau berpesan kepada Syaikh Ahmad Jauhari Umar agar selalu menghormati para ulama. Jika sowan (berkunjung) kepada para ulama supaya selalu memberi uang atau jajan (oleh-oleh). Pesan ayahanda tersebut dilaksanakan oleh beliau, dan semua ulama yang pernah diambil manfaat ilmunya mulai dari Kyai Syufaat Blok Agung Banyuwangi hingga KH. Dimyathi Pandegelang Banten, semuanya pernah diberi uang atau jajan oleh Syaikh Ahmad Jauhari Umar.
Sebenarnya, Syaikh Ahmad Jauhari Umar pernah menganut faham wahabi bahkan sampai menduduki posisi wakil ketua Majlis Tarjih Wahabi Kaliwungu. Adapun beberapa hal yang menyebabkan Syaikh Ahmad Jauhari Umar pindah dari faham wahabi dan menganut faham ahlussunah diantaranya adalah sebagai berikut :
  1. Beliau pernah bermimpi bertemu dengan kakek beliau yaitu KH. AbduLlah Sakin yang wafat pada tahun 1918 M, beliau berwasiyat kepada Syaikh Ahmad Jauhari Umar bahwa yang benar adalah faham ahlussunah.
  2. Syaikh Ahmad Jauhari Umar pernah bertemu dengan KH Yasin bin Ma’ruf kedunglo kediri, pertemuan itu terjadi di warung / rumah makan Pondol Pesantren Lirboyo Kediri yang berkata kepada Syaikh Ahmad Jauhari Umar bahwa Syaikh Ahmad Jauhari Umar kelak akan menjadi seorang ulama yang banyak tamunya. Dan ucapan KH Yasin tersebut terbukti, beliau setiap hari menerima banyak tamu.
  3. Syaikh Ahmad Jauhari Umar pernah berjumpa dengan Sayyid Ma’sum badung Madura yang memberi wasiyat bahwa kelak Syaikh Ahmad Jauhari Umar banyak santrinya yang berasal dari jauh. Dan hal itu juga terbukti.
  4. Syaikh Ahmad Jauhari Umar bertemu dengan KH Hamid AbdiLlah Pasuruan, beliau berkata bahwa kelak Syaikh Ahmad Jauhari Umar akan dapat melaksanakan ibadah haji dan menjadi ulama yang kaya. Dan terbukti beliau sampai ibadah haji sebanyak lima kali dan begitu juga para putera beliau.
Hal tersebutlah yang menyebabkan Syaikh Ahmad Jauhari Umar menganut faham ahlussunah karena beliau merasa heran dan ta’jub kepada para ulama ahlussunah seperti tersebut di atas yang dapat mengetahui hal-hal rahasia ghaib dan ulama yang demikian ini tidak dijumpainya pada ulama-ulama golongan wahabi.
Dalam menghadapi setiap cobaan yang menimpa, Syaikh Ahmad Jauhari Umar memilih satu jalan yaitu mendatangi ulama. Adapun beberapa ulama yang dimintai do’a dan barokah oleh beliau diantaranya adalah :
1. KH. Syufaat Blok Agung Banyuwangi.
2. KH. Hayatul Maki Bendo Pare Kediri.
3. KH. Marzuki Lirboyo Kediri.
4. KH. Dalhar Watu Congol Magelang.
5. KH. Khudlori Tegal Rejo Magelang.
6. KH. Dimyathi Pandegrlang Banten.
7. KH. Ru’yat Kaliwungu.
8. KH. Ma’sum Lasem.
9. KH. Baidhawi Lasem.
10. KH. Masduqi Lasem.
11. KH. Imam Sarang.
12. KH. Kholil Sidogiri.
13. KH Abdul Hamid AbdiLlah Pasuruan.
Selesai beliau mendatangi para ulama, maka ilmu yang didapat dari mereka beliau kumpulkan dalam sebuah kitab Jawahirul Hikmah.
Kemudian beliau mengembara ke makam- makam para wali mulai dari Banyuwangi sampai Banten hingga Madura. Sewaktu beliau berziarah ke makam Syaikh Kholil Bangkalan Madura, Syaikh Ahmad Jauhari Umar bertemu dengan Sayyid Syarifuddin yang mengaku masih keturunan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani RA. Kemudian Sayyid Syarifuddin memberikan ijazah kepada Syaikh Ahmad Jauhari Umar berupa amalan MANAKIB JAWAHIRUL MA’ANY dimana amalan manakib Jawahirul Ma’any tersebut saat ini tersebar luas di seluruh Indonesia karena banyak Fadhilahnya
, bahkan sampai ke negara asing seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Pakistan, tanzania, Afrika, Nederland, dll.
Syaikh Ahmad Jauhari Umar pernah mengalami masa-masa yang sulit dalam segala hal. Bahkan ketika putera beliau masih berada di dalam kandungan, beliau diusir oleh keluarga isteri beliau sehingga harus pindah ke desa lain yang tidak jauh dari desa mertua beliau kira-kira satu kilometer. Ketika putera beliau berumur satu bulan, beliau kehabisan bekal untuk kebutuhan sehari-hari kemudian Syaikh Ahmad Jauhari Umar memerintahkan kepada isteri beliau untuk pulang meminta makanan kepada orang tuanya. Dan Syaikh Ahmad Jauhari Umar berkata, ” Saya akan memohon kepada Allah SWT. “. Akhirnta isteri beliau dan puteranya pulang ke rumah orang tuanya.
Kemudian Syaikh Ahmad Jauhari Umar mengambil air wudhu untuk melaksanakan shalat duha dan dilanjutkan membaca manakib Jawahirul Ma’any. Ketika tengah membaca Manakib, beliau mendengar ada orang di luar rumah memberikan ucapan salam kepada beliau, dan beliau jawab di dalam hati kemudian beliau tetap melanjutkan membaca Manakib Jawahirul Ma’any hingga khatam. Setelah selesai membaca Manakib, maka keluarlah beliau seraya membukakan pintu bagi tamu yang memberikan salam tadi.
Setelah pintu terbuka, tenyata ada enam orang yang bertamu ke rumah beliau. Dua orang tamu memberi beliau uang Rp 10.000, dan berpesan supaya selalu mengamalkan Manakib tersebut. Dan sekarang kitab manakib tersebut sudah beliau ijazahkan kepada kaum Muslimin dan Muslimat agar kita semua dapat memperoleh berkahnya. Kemudian dua tamu lagi memberi dua buah nangka kepada beliau, dan dua tamu lainnya memberi roti dan gula.
Kemudian Syaikh Ahmad Jauhari Umar selalu melaksanakan pesan tamu-tamu tersebut yang menjadi amalan beliau sehari-hari. Tidak lama setelah itu, setiap harinya Syaikh Ahmad Jauhari Umar diberi rizki oleh Allah senanyak Rp. 1.500 hingga beliau berangkat haji untuk pertamakali pada tahun 1982.
Kemudian pada tahun 1983 Syaikh Ahmad Jauhari Umar menikah dengan Sa’idah putri KH As’ad Pasuruan. Setelah pernikahan ini beliau setiap hari diberi rizki oleh Allah sebanyak Rp 3.000 mulai tahun 1983 hingga beliau menikah dengan puteri KH. Yasin Blitar.
Setelah pernikahan ini Syaikh Ahmad Jauhari Umar setiap hari diberi rizki oleh Allah SWT sebanyak Rp.11.000 sampai beliau dapat membanun masjid. Selesai membangun masjid, Syaikh Ahmad Jauhari Umar setiap hari diberi rizki oleh Allah sebanyak Rp. 25.000 hingga beliau membangun rumah dan Pondok Pesantren.
Setelah membangun rumah dan Pondok Pesantren, Syaikh Ahmad Jauhari Umar tiap hari diberi rizki oleh Allah SWT sebanyak Rp.35.000 hingga beliau ibadah haji yang kedua kalinya bersama putera beliau Abdul Halim dan isteri beliau Musalihatun pada tahun 1993.
Setelah beliau melaksanakan ibadah haji yang kedua kalinya pada tahun 1993, Syaikh Ahmad Jauhari Umar setiap hari diberi rizki oleh Allah sebanyak Rp 50.000 hingga tahun 1995 M. Setelah Syaikh Ahmad Jauhari Umar melaksanakan ibadah haji yang ketiga kalinya bersama putera beliau Abdul Hamid dan Ali Khazim, Syaikh Ahmad Jauhari Umar setiap hari diberi rizki oleh Allah sebanyak Rp. 75.000 hingga tahun 1997.
Setelah Syaikh Ahmad Jauhari Umar menunaikan ibadah haji yang keempat kalinya pada tahun 1997 bersama putera beliau HM Sholahuddin, Syaikh Ahmad Jauhari Umar diberi rizki oleh Allah setiap hari Rp. 200.000 hingga tahun 2002.
Kemudian Syaikh Ahmad Jauhari Umar berangkat haji yang ke limakalinya bersama dua isteri dan satu menantu beliau, Syaikh Ahmad Jauhari Umar setiap hari diberi rizki oleh Allah SWT sebanyak Rp. 300.000 sampai tahun 2003 M.
Di Pasuruan, Syaikh Ahmad Jauhari Umar mendirikan Pondok Pesantren tepatnya di Desa Tanggulangin Kec. Kejayan Kab. Pasuruan yang diberi nama Pondok Pesantren Darussalam Tegalrejo.
Di desa tersebut Syaikh Ahmad Jauhari Umar diberi tanah oleh H Muhammad seluas 2.400 m2 kemudian H Muhammad dan putera beliau diberi tanah oleh Syaikh Ahmad Jauhari Umar seluas 4000m2 sebagai ganti tanah yang diberikan dahulu.
Sejak saat itu Syaikh Ahmad Jauhari Umar mulai membangun masjid dan madrasah bersama masyarakat pada tahun 1998. namun sayangnya sampai empat tahun pembangunan masjid tidak juga selesai. Akhirnya Syaikh Ahmad Jauhari Umar memutuskan masjid yang dibangun bersama masyarakat harus dirobohkan, demikian ini atas saran dan fatwa dari KH. Hasan Asy’ari Mangli Magelang Jawa Tengah (Mbah Mangli (almarhum), dan akhirnya Syaikh Ahmad Jauhari Umar membangun masjid lagi bersama santri pondok. AlhamduliLlah dalam waktu 111 hari selesailah pembanginan masjid tingkat tanpa bantuan masyarakat. Kemudian madrasah-madrasah yang dibangun bersama masyarakat juga dirobohkan dan diganti dengan pembangunan pondok oleh santri-santri pondok
Maka mulailah Syaikh Ahmad Jauhari Umar mengajar mengaji dan mendidik anak-anak santri yang datang dari luar daerah pasuruhan, hingga lama kelamaan santri beliau menjadi banyak. Pernah suatu hari Syaikh Ahmad Jauhari Umar mengalami peristiwa yang ajaib yaitu didatangi oleh Syaikh Abi Suja’ pengarang kitab Taqrib yang mendatangi beliau dan memberikan kitab taqrib dengan sampul berwarna kuning, dan kitab tersebut masih tersimpan hingga sekarang. Mulai saat itu banyak murid yang datang terlebih dari Jawa Tengah yang kemudian banyak menjadi kiyahi dan ulama.
Silsilah Syaikh Ahmad Jauhari Umar :
a. Dari ayah beliah adalah sbb :
1. Syaikh Ahmad Jauhari Umar bin
2. H. Thohir/Muhammad Ishaq bin
3. Umarudin bin
4. Tubagus Umar bin
5. AbduLlah Kyai Mojo bin
6. Abu Ma’ali Zakariya bin
7. Abu Mafakhir Ahmad Mahmud Abdul qadir bin
8. Maulana Muhammad Nasiruddin bin
9. Maulana Yufus bin
10. Hasanuddin Banten bin
11. HidayatuLlah Sunan Gunung Jati bin
12. AbduLlah Imamuddin bin
13. Ali Nurul ‘Alam bin
14. Jamaluddin Akbar bin
15. Jalaluddin Syad bin
16. AbduLlah Khon bin
17. Abdul Malik Al-Muhajir Al-Hindi bin
18. Ali Hadzramaut bin
19. Muhammad Shahib Al-Mirbath bin
20. Ali Khola’ Qasim bin
21. Alwi bin UbaidiLlah bin
22. Ahmad Al-Muhajir bin
23. Isa Syakir bin
24. Muhammad Naqib bin
25. Ali Uraidzi bin
26. Ja’far As-Shadiq bin
27. Muhammad Al-Baqir bin
28. Imam Ali Zainal Abidin bin
29. Imam Husain bin
30. Sayyidatina Fatimah Az-Zahra binti
31. Sayyidina Muhammad RasuluLlah SAW.
b. Silsilah Syaikh Ahmad Jauhari Umar dari Ibu :
1 Syaikh Ahmad Jauhari Umar bin
2 KH Thahir bin/Moh Ishaq bin
3 Umarudin bin
4 Tuba bin
5 H. Muhammad Nur Qesesi bin
6 Pangeran Bahurekso bin
7 Syeh Nurul Anam bin
8 Pangeran Cempluk bin
9 Pangeran Nawa bin
10 Pangeran Arya Mangir bin
11 Pangeran Pahisan bin
12 Syekh Muhyidin Pamijahan bin
13 Ratu Trowulan bin
14 Ratu Ta’najiyah bin
15 Pangeran Trowulan Wirocondro bin
16 Sulthan AbduRrahman Campa bin
17 Raden rahmat Sunan Ampel bin
18 Maulana Malik Ibrahim bin
19 Jalaluddin bin
20 Jamaludin Husen bin
21 AbduLlah Khon bin
22 Amir Abdul Malik bin
23 Ali Al-Anam bin
24 Alwi Al-Yamani bin
25 Muhammad Mu’ti Duwailah bin
26 Alwi bin
27 Ali Khola’ Qasim bin
28 Muhammad Shahib Al-Mirbath bin
29 Ali Ba’lawi bin
30 Muhammad Faqih Al-Muqaddam bin
31 AbduLlah AL-Yamani bin
32 Muhammad Muhajir bin
33 ‘Isa Naqib Al-basyri bin
34 Muhammad Naqib Ar-Ruumi bin
35 Ali Uraidzi bin
36 Ja’far Shadiq bin
37 Muhammad Al-baqir bin
38 Ali Zainal Abidin bin
39 Husein As-Sibthi bin
40 Sayyidatinaa Fatimah Az-Zahra bin
41 Sayyidina Muhammad RasuluLlah SAW.
Meskipun beliau telah berpulang ke RahmatuLlah semoga Beliau mendapat tempat yang mulia di sisi-Nya, dan berkah beliah selalu mengalir kepada kita semua. .Amin
Referensi : Buku Sejarah Perjuangan Syaikh Ahmad Jauhari umar..Penyiar Kitab Manakib Jawahirul Ma’any.
Sumber http://manakib.wordpress.com/category/manakib-aulia-yang-lain/
Pertengahan Juni ini, Ponpes Mambaul Maarif Denanyar, Jombang memiliki hajat besar. Ribuan orang diperkirakan memadati lokasi pesatren untuk menghadiri agenda acara tahunan Haul ke-31 wafatnya KH Bisri Syansuri dan bersama-sama meneladani keteguhan prinsip dan kecintaannya kepada ilmu fiqih, Islam dan bangsa.

Pembicarakan kisah hidup Kiai Bisri berarti membicarakan kecintaan seorang ulama terhadap ilmu fiqih. Karena saking cintanya, Kiai Bisri dikenal sebagai ulama yang tegas memegang prinsip. KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang juga cucunya sendiri, menyebut Kiai Bisri sebagai “Pecinta Fiqih Sepanjang Hayat” yang ter-muat sebagai judul buku yang ia tulis.

Ada kisah menarik yang termuat dalam buku Gus Dur. KH Abdul Wahab Chasbullah sering sekali berbeda pendapat dengan Kiai Bisri. Kiai Wahab, menurut Gus Dur, lahir sebagai anak kaya di Bibis, Kota Surabaya. Ibunya memiliki ratusan rumah di daerah tersebut yang disewa oleh orang-orang Arab pada paruh kedua abad ke-19 Masehi.
Sebaliknya, Kiai Bisri lahir beberapa tahun kemudian, di tengah-tengah keluarga miskin di kawasan Tayu Wetan, Pati, Jawa Tengah. Dia belajar di pesantren lokal dan kemudian di pesantren KH Cholil Demangan, Bangkalan. Di sanalah dia bertemu dengan Kiai Wahab.

Kiai Bisri muda dapat terus menjadi santri karena ia mencuci pakaian dan menanak nasi untuk kawan barunya itu, Kiai Wahab muda. Segera Kiai Bisri muda menjadi orang kepercayaan Wahab muda karena jujur dan rajin. Jadi, urusannya sudah bukan lagi menyangkut pakaian dan makanan, tetapi sudah berkaitan dengan watak dan tempramen. Walaupun begitu, keahlian ilmu agama Islam kedua orang itu juga saling berbeda.
Perbedaannya terletak pada bidang ilmu agama yang mereka senangi. Kiai Wahab senang pada ilmu ushul fiqh, sedangkan Kiai Bisri menyukai tafsir dan hadits Nabi Muhammad SAW. Bidang itu juga dinamai kajian naqly, bertumpu kepada ayat-ayat Alquran dan hadits Nabi Muhammad SAW.

Karena itu, Kiai Bisri tidak banyak berkutat dengan penggunaan akal (rasio) sebagaimana Kiai Wahab. Pernah Kiai Wahab bertanya kepada Gus Dur; “Saya dengar kakekmu itu tidak pernah makan di warung?” Gus Dur menjawab, “Memang benar demikian.”

Kiai Wahab kembali bertanya, “Mengapa?” Gus Dur menjawab, “Kiai Bisri tidak menemukan hadits yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah makan di warung.” Kiai Abdul Wahab menga-takan; “Ya, tentu saja karena waktu itu belum ada warung.”
Tetapi pergaulan mereka, tokoh tekstual di satu sisi dan tokoh satunya yang senang menggunakan rasio, ternyata sangat erat. Hal ini tampak ketika ada bahtsul masail. Gus Dur pernah menyaksikan sekitar 40-an orang kiai berkumpul dari pagi hingga sore hari di ruang tamu Kiai Bisri.Ternyata, keduanya berdebat seru, yang satu membolehkan dan yang satu lagi melarang sebuah perbuatan.

Demikian seru mereka berbeda, hingga akhirnya semua kiai yang lain menutup buku/kitab mereka dan mengikuti saja kedua orang itu berdebat. Sampai-sampai, baik Kiai Abdul Wahab maupun Kiai Bisri berdiri dari tempat duduk mereka sambil memukul-mukul meja marmer yang mereka gunakan berdiskusi. Muka keduanya me-merah karena bertahan pada pen-dirian masing-masing.

Akhirnya kemudian Kiai Abdul Wahab menyerang, “Kitab yang Sampeyan gunakan adalah cetakan Kudus, sedangkan kitab saya adalah cetakan Kairo.” Ini adalah tanda Kiai Abdul Wahab kalah argumentasi dan akan menerima pandangan Kiai Bisri. Walau pada forum bahtsul masail itu mereka berbicara sampai memukul-mukul meja dengan wajah memerah, namun ketika tiba-tiba beduk ber-bunyi, Kiai Bisri segera berlari ke sumur di dekat ruang pertemuan tersebut. Di sana, dia naik ke pinggiran sumur dan menimbakan air wudhu bagi iparnya itu. Beda pendapat boleh tapi harus tetap rukun. Demikian kira-kira pegangan mereka.

Kisah menarik lainnya terdapat di buku “Menapak Jejak Mengenal Watak, Sekilas Biografi 26 Tokoh NU”. Dalam resepsi penutupan Kongres Gerakan Pemuda Ansor di Surabaya, April 1980, Pengasuh Pesantren Tebuireng KH Yusuf Hasyim (Pak Ud) membisiki seseorang, “Sakitnya KH Bisri Syansuri semakin parah. Beliau dalam keadaan tidak sadar siang tadi ketika saya tinggalkan berangkat kemari,” ujarnya. Orang yang diberitahu tersentak mendengar bisikan itu. Sebab tiga hari sebelumnya, dia ikut hadir di ruang tamu rumahnya, sewaktu pendiri dan pemimpin Ponpes Mambaul Maarif itu menerima Probosutedjo, pengusaha kenamaan dan adik Presiden Soeharto.
Probosutedjo diundang untuk memberikan ceramah tentang kewiraswastaan dalam Kongres Ansor di Surabaya. Kehadirannya memenuhi undangan tersebut di-manfaatkan sekaligus untuk me-ngunjungi Kiai Bisri yang sedang dalam keadaan sakit. Ketika itu Kiai Bisri menjemput sendiri tamunya di teras tempat kediamannya. Bersa-rung putih dengan garis kotak-kotak kebiruan, mengenakan baju putih dan berkopiah haji. Kiai Bisri mem-persilakan tamu dari Jakarta itu me-masuki ruang depan rumahnya yang tua dan berperabotan sederhana.

Wajahnya, seperti biasa, tampak jernih. Dengan sabar penuh perhatian ia mendengarkan setiap kata yang diucapkan oleh tamunya. Dan dengan suara lembut ia menjawab setiap pertanyaan, menjawab salam dari Presiden Soeharto yang disampaikan oleh Probosutedjo dan dengan halus menolak tawaran berobat ke luar negeri.
Terdapat pula kisah Kiai Bisri dalam buku “Antologi NU; Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah” jilid I. Saat berlangsung Sidang Umum MPR tahun 1978 ada peristiwa luar biasa. Fraksi PPP tidak sepakat dengan keputusan fraksi lain. Setelah berkali-kali adu argumentasi mengenai rancangan ketetapan MPR tentang P4 namun tetap tidak membuahkan hasil. Sementara partai sudah meng-gariskan untuk memegang teguh ama-nat itu, mereka pun keluar sidang.

Seluruh anggota Fraksi PPP segera berdiri. Dipimpin langsung oleh KH Bisri Syansuri, mereka beriringan walk out sebagai tanda tidak setuju terhadap hasil keputusan. Meski sudah berusia 92 tahun, kiai yang menciptakan lambang ka’bah bagi PPP itu malah berjalan paling depan.

Ketegasan lain nampak tatkala DPR membahas RUU tentang perkawinan. Secara kesluruhan RUU itu dinilai banyak bertentangan dengan ketentuan hukum agama Islam. Maka, di mata Kiai Bisri, menghadapi kasus itu, tidak ada alternatif lain kecuali menolaknya.

Langkah pertama yang Kiai Bisri lakukan adalah dengan mengumpulkan sejumlah ulama di daerah Jombang untuk membuat RUU tandingan yang akan diajukan ke DPR-RI. Setelah RUU tandingan itu selesai dibahas, lalu disampaikan ke PBNU, yang diterima secara aklamasi.

Setelah itu amandemen RUU itu diajukan ke Majelis Syuro PPP dan diterima. DPP PPP memerintahkan Fraksi PPP DPR-RI agar menjadikan RUU tandingan itu sebagai rancangan yang diterima dan harus diperjuangkan. Setelah melalui proses yang panjang dan melelahkan, serta lebih banyak dilakukan di luar gedung DPR-RI, akhirnya RUU itu disahkan setelah ada revisi dan tidak lagi bertentangan dengan hukum Islam.

Pecinta Ilmu Sejati
Kiai Bisri dilahirkan di Desa Tayu, Pati, Jawa Tengah, tanggal 18 September 1886. Ayahnya bernama Syansuri dan ibunya bernama Mariah. Kiai Bisri adalah anak ketiga dari lima bersaudara yang memperoleh pendidikan awal di beberapa pesantren lokal, antara lain pada KH Abdul Salam di Kajen.

Kiai Bisri kemudian berguru kepada KH Kholil di Bangkalan dan KH Hasyim Asy’ari di Tebuireng, Jombang.

Kiai Bisri kemudian mendalami pendidikannya di Mekkah dan belajar ke pada sejumlah ulama terkemuka antara lain Syekh Muhammad Baqir, Syekh Muhammad Sa’id Yamani, Syekh Ibrahim Madani, Syekh Jamal Maliki, Syekh Ahmad Khatib Padang, Syekh Syu’aib Daghistani, dan Kiai Mahfuz Termas. Ketika berada di Mekkah, Kiai Bisri menikahi adik perempuan Kiai Wahab. Di kemudian hari, anak perempuan Kiai Bisri menikah dengan putra KH Hasyim As’ari, KH Wahid Hasyim dan memiliki putra Gus Dur dan KH Solahuddin Wahid (Gus Sholah).

Sepulangnya dari Mekkah, Kiai Bisri menetap di pesantren mertuanya di Tambak Beras, Jombang, selama dua tahun. Kiai Bisri ke-mudian mendirikan Ponpes Mam-baul Maarif di Denanyar, Jombang pada 1917. Saat itu, Kiai Bisri adalah kiai pertama yang mendirikan kelas khusus untuk santri-santri wanita di pesantren yang didirikannya.
Di sisi pergerakan, Kiai Bisri bersama-sama para kiai muda saat itu antara lain Kiai Wahab, KH Mas Mansyur, KH Dahlan Kebondalem dan KH Ridwan, membentuk klub kajian yang diberi nama Taswirul Afkar (konseptualisasi pemikiran) dan sekolah agama dengan nama yang sama, yaitu Madrasah Taswirul Afkar. Sedangkan keterlibatannya dalam upaya pengembangan organisasi NU antara lain berupa pendirian rumah-rumah yatim piatu dan pelayanan kesehatan yang dirintis-nya di berbagai tempat.

Di masa penjajahan Jepang, Kiai Bisri terlibat dalam pertahanan negara, yakni menjadi Kepala Staf Markas Oelama Djawa Timur (MODT), yang berkedudukan di Waru, dekat Surabaya.

Pada masa kemerdekaan Kiai Bisri pun terlibat dalam lembaga peme-rintahan, antara lain dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), me-wakili unsur Masyumi. Kiai Bisri juga menjadi anggota Dewan Konstitu-ante tahun 1956 hingga ke masa pemilihan umum tahun 1971. Ketika NU bergabung ke PPP, Kiai Bisri pernah menjadi ketua Majelis Syuro-nya. Kiai Bisri terpilih menjadi ang-gota DPR sampai tahun 1980. Kiai Bisri kemudian wafat dalam usia 94 tahun pada 25 April 1980 atau berte-patan dengan bulan Rajab di Denanyar.

Mundur dari Jabatan Rais Am
Jasa Kiai Bisri dalam membesarkan NU juga tak patut dilupakan. Kiai Bisri turut terlibat terlibat dalam pertemuan pada 31 Januari 1926 di Surabaya saat para ulama menye-pakati berdirinya NU. Pada periode pertama, Kiai Bisri menjadi A’wan Syuriah PBNU dan kemudian pada periode-periode berikutnya Kiai Bisri pernah menjadi Rais Syuriah, Wakil Rais Am dan menjadi Rais Am hingga akhir hayatnya.

Meski dikenal tegas dalam mem-pertahankan prinsip, kesantunan Kiai Bisri juga tak perlu diragukan. Saat berlangsungnya Muktamar NU ke-24 pada tahun 1967 di Bandung, Kiai Bisri menunjukkan sikap tawadlu’ yang perlu kita teladani.

Ketika itu sedang terjadi pemili-han Rais Am yang melibatkan “rivalitas” antara dua kiai sepuh yang sama-sama berwibawa, yaitu Kiai Wahab yang saat itu menjabat Rais Am (incumbent) dengan Kiai Bisri yang menjadi salah satu Rais Syuriah PBNU. Hasil pemilihan ternyata di luar dugaan. Walaupun lebih muda, tiba-tiba Kiai Bisri bisa meraih suara terbanyak. Kiai Wahab pun menerima kekalahan dengan berbesar hati, apalagi yang menga-lahkan sahabat dekatnya sekaligus adik iparnya sendiri.
Demikian halnya Kiai Bisri yang memperoleh kemenangan juga sangat rendah hati. Walaupun telah dipilih oleh muktamirin, tetapi kemudian Kiai Bisri segera memberikan sambutan, selama masih ada Kiai Wahab yang lebih senior dan lebih alim Kiai Bisri tidak bersedKiai Bisri menduduki jabatan itu. “Karena itu saya menyatakan untuk mengundurkan diri dan kembali menyerah-kan jabatan itu kepada Kiai Wahab Chasbullah.”

Menanggapi sikap Kiai Bisri, Kiai Wahab menerima amanah itu. Tidak perlu merasa tersinggung, karena walaupun sudah uzur tetapi merasa masih dibutuhkan untuk memimpin NU dalam menghadapi situasi sulit masa orde baru. Sementara Kiai Bisri dipercaya sebagai Wakil Rais Am. Kemudian ketika Kiai Wahab wafat pada tahun 1971, baru Kiai Bisri menduduki posisi sebagai Rais Am hingga wafat pada tahun 1980. (AULA Juni 2010)

Habib Alwi bin Muhammad Al-Haddad

Habib Alwi bin Muhammad Al-Haddad dilahirkan di kota Qeidun, Hadramaut, pada tahun 1299 H. Sanad keturunan beliau termasuk suatu silsilah dzahabiyyah, sambung-menyambung dari ayah yang wali ke datuk wali, demikian seterusnya sampai bertemu dengan Rasulullah SAW. Sebagaimana kebanyakan para Saadah Bani Alawi, beliau dibesarkan dan dididik oleh ayahnya sendiri Al-Habib Muhammad bin Thohir bin Umar Alhaddad.

Datuk beliau Al-Habib Thohir bin Umar Alhaddad adalah seorang ulama besar di kota Geidun, Hadramaut. Sedangkan ayah beliau adalah seorang Wali min Auliyaillah dan ulama besar yang hijrah dari kota Geidun, Hadramaut ke Indonesia dan menetap di kota Tegal. Beliau Al-Habib Thohir banyak membaca buku dibawah pengawasan dan bimbingan ayah dan kakek beliau, sehingga diberi ijazah oleh ayah dan kakeknya sebagai ahli hadist dan ahli tafsir.

Setelah digembleng oleh ayahnya, beliau lalu berguru kepada :

As-Syaikh Abdullah bin Abubakar Al-Murahim Al-Khotib (di kota Tarim)

As-Syaikh Abud Al-Amudi (di kota Geidun)

Setelah itu beliau memulai pengembaraannya di sekitar kota-kota di Hadramaut untuk menuntut ilmu dan menghiasi kemuliaan nasabnya dengan ilmu-ilmu yang bermanfaat. Beliau keliling dari satu kota ke kota yang lain untuk mengambil ilmu dari ulama-ulama besar yang beliau jumpai. Diantara para guru yang beliau berguru kepada mereka adalah :

Al-Habib Husain bin Muhammad Albar (di Gerain)

Al-Habib Umar bin Hadun Al-Atthas (di Masyhad)

Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-Atthas (di Huraidhah)

Al-Habib Muhammad bin Abdullah Al-Atthas (di Maula Amed)

Al-Habib Umar Maula Amed (di Maula Amed)

Al-Habib Abdillah bin Umar bin Sumaith (di Syibam)

Al-Habib Abdullah bin Hasan bin Shaleh Al-Bahar (di Thi Usbuh)

Al-Habib Abdullah bin Muhammad Al-Habsyi (di Hauthoh Ahmad bin Zein)

Al-Habib Idrus bin Umar Al-Habsyi (di Ghurfah)

Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur (Mufti Hadramaut)

Al-Habib Idrus bin Alwi Alaydrus

Al-Habib Abdulqodir bin Ahmad Alhaddad (di Tarim)

Itulah guru-guru beliau yang ada di Hadramaut, dimana mereka semua kebanyakan adalah ulama-ulama besar dan tidak jarang pula yang termasuk Wali min Auliyaillah.

Pada suatu saat, beliau ingin sekali menunaikan ibadah Haji dan lalu berziarah ke datuk beliau termulia Rasulullah SAW. Setelah mendapat ijin dari kakek beliau Al-Habib Thohir bin Umar Alhaddad, berangkatlah beliau menuju ke kota Makkah dan Madinah. Setelah beliau menunaikan keinginannya, timbullah niat beliau untuk belajar dari para ulama besar yang ada di dua kota suci tersebut. Lalu beliau menuntut ilmu disana dengan berguru kepada :

As-Syaikh Said Babshail

As-Syaikh Umar bin Abubakar Junaid

Al-Habib Husin bin Muhammad Al-Habsyi (Mufti Syafi’iyah pada masa itu)

Setelah dirasa cukup menuntut ilmu disana, timbullah keinginan beliau untuk berhijrah ke Indonesia, sebagaimana yang dilakukan sebelumnya oleh ayah beliau Al-Habib Muhammad. Sesampailah beliau di Indonesia, beliau lalu berziarah ke makam ayah beliau Al-Habib Muhammad bin Thohir Alhaddad yang wafat di kota Tegal, Jawa Tengah, pada tahun 1316 H.

Keinginan beliau untuk selalu menuntut ilmu seakan tak pernah luntur dan pupus terbawa jaman. Inilah salah satu kebiasaan beliau untuk selalu mencari dan mencari ilmu dimanapun beliau berada. Tidaklah yang demikian itu, kecuali beliau mencontoh para Datuk beliau yang gemar menuntut ilmu, sehingga mereka bisa menjadi ulama-ulama besar. Diantara para guru beliau yang ada di Indonesia adalah :

Al-Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (di Surabaya)

Al-Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhor (di Surabaya, yang kemudian beliau dikawinkan dengan anaknya)

Al-Habib Abdullah bin Muhsin Al-Atthas (di Bogor)

Al-Habib Salim bin Alwi Al-Jufri (menetap di Menado)

Al-Habib Idrus bin Husin bin Ahmad Alaydrus (wafat di India dalam dakwahnya)

Di Indonesia, beliau memilih untuk menetap di kota Bogor. Disana beliau berdakwah dan menyebarkan ilmu-ilmu yang bermanfaat. Beliau dikenal sebagai seorang ulama besar dan ahli hadits. Di kota Bogor beliau banyak mengadakan majlis-majlis taklim dan mengajarkan tentang Al-Islam. Sampai akhirnya beliau dipanggil oleh Allah menuju ke haribaan-Nya. Beliau wafat di kota Bogor tahun 1373 H dan dimakamkan di Empang, Bogor.

Seorang ulama besar telah berpulang, namun jejak-jejak langkah beliau masih terkenang. Nama baik beliau selalu tersimpan dalam hati para pecintanya…dalam hati yang paling dalam, menyinari kehidupan suram nan kelam…

Radhiyallahu anhu wa ardhah…

MBAH KH. DALHAR WATUCONGOL

Ditulis oleh : Muhammad Wava Al-Hasani
Berikut ini adalah ringkasan manaqib beliau yang penulis peroleh dari keterangan keluarga. Terutama kakek penulis yaitu KH Ahmad Abdul Haq dan beberapa petikan catatan yang penulis peroleh dari catatan – catatan Mbah Kyai Dalhar.
Kelahiran & NasabnyaMbah Kyai Dalhar lahir di komplek pesantren Darussalam, Watucongol, Muntilan, Magelang pada hari Rabu, 10 Syawal 1286 H atau 10 Syawal 1798 – Je (12 Januari 1870 M). Ketika lahir beliau diberi nama oleh ayahnya dengan nama Nahrowi. Ayahnya adalah seorang mudda'i ilallah bernama Abdurrahman bin Abdurrauf bin Hasan Tuqo. Kyai Abdurrauf adalah salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro. Nasab Kyai Hasan Tuqo sendiri sampai kepada Sunan Amangkurat Mas atau Amangkurat III. Oleh karenanya sebagai keturunan raja, Kyai Hasan Tuqo juga mempunyai nama lain dengan sebutan Raden Bagus Kemuning.
Diriwayatkan, Kyai Hasan Tuqo keluar dari komplek keraton karena beliau memang lebih senang mempelajari ilmu agama daripada hidup dalam kepriyayian. Belakangan waktu baru diketahui jika beliau hidup menyepi didaerah Godean, Yogyakarta. Sekarang desa tempat beliau tinggal dikenal dengan nama desa Tetuko. Sementara itu salah seorang putera beliau yang bernama Abdurrauf juga mengikuti jejak ayahnya yaitu senang mengkaji ilmu agama. Namun ketika Pangeran Diponegoro membutuhkan kemampuan beliau untuk bersama – sama memerangi penjajah Belanda, Abdurrauf tergerak hatinya untuk membantu sang Pangeran.
Dalam gerilyanya, pasukan Pangeran Diponegoro sempat mempertahankan wilayah Magelang dari penjajahan secara habis – habisan. Karena Magelang bagi pandangan militer Belanda nilainya amat strategis untuk penguasaan teritori lintas Kedu. Oleh karenanya, Pangeran Diponegoro membutuhkan figure – figure yang dapat membantu perjuangan beliau melawan Belanda sekaligus dapat menguatkan ruhul jihad dimasyarakat. Menilik dari kelebihan yang dimilikinya serta beratnya perjuangan waktu itu maka diputuskanlah agar Abdurrauf diserahi tugas untuk mempertahankan serta menjaga wilayah Muntilan dan sekitarnya. Untuk ini Abdurrauf kemudian tinggal di dukuh Tempur, Desa Gunung Pring, Kecamatan Muntilan. Beliau lalu membangun sebuah pesantren sehingga masyhurlah namanya menjadi Kyai Abdurrauf.
Pesantren Kyai Abdurrauf ini dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Abdurrahman. Namun letaknya bergeser ke sebelah utara ditempat yang sekarang dikenal dengan dukuh Santren (masih dalam desa Gunung Pring). Sementara ketika masa dewasa mbah Kyai Dalhar, beliau juga meneruskan pesantren ayahnya (Kyai Abdurrahman) hanya saja letaknya juga dieser kearah sebelah barat ditempat yang sekarang bernama Watu Congol. Adapun kisah ini ada uraiannya secara tersendiri.
Ta'lim dan rihlahnyaMbah Kyai Dalhar adalah seorang yang dilahirkan dalam ruang lingkup kehidupan pesantren. Oleh karenanya semenjak kecil beliau telah diarahkan oleh ayahnya untuk senantiasa mencintai ilmu agama. Pada masa kanak – kanaknya, beliau belajar Al-Qur'an dan beberapa dasar ilmu keagamaan pada ayahnya sendiri yaitu Kyai Abdurrahman. Menginjak usia 13 tahun, mbah Kyai Dalhar mulia belajar mondok. Ia dititipkan oleh sang ayah pada Mbah Kyai Mad Ushul (begitu sebutan masyhurnya) di Dukuh Mbawang, Desa Ngadirejo, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang. Disini beliau belajar ilmu tauhid selama kurang lebih 2 tahun.
Sesudah dari Salaman, mbah Kyai Dalhar dibawa oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu, Kebumen. Saat itu beliau berusia 15 tahun. Oleh ayahnya, mbah Kyai Dalhar diserahkan pendidikannya pada Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani atau yang ma'ruf dengan laqobnya Syeikh Abdul Kahfi Ats-Tsani. Delapan tahun mbah Kyai Dalhar belajar di pesantren ini. Dan selama di pesantren beliau berkhidmah di ndalem pengasuh. Itu terjadi karena atas dasar permintaan ayah beliau sendiri pada Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani.
Kurang lebih pada tahun 1314 H/1896 M, mbah Kyai Dalhar diminta oleh gurunya yaitu Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani untuk menemani putera laki – laki tertuanya yang bernama Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani thalabul ilmi ke Makkah Musyarrafah. Dalam kejadian bersejarah ini ada kisah menarik yang perlu disuri tauladani atas ketaatan dan keta'dziman mbah Kyai Dalhar pada gurunya. Namun akan kita tulis pada segmen lainnya.
Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani punya keinginan menyerahkan pendidikan puteranya yang bernama Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani kepada shahib beliau yang berada di Makkah dan menjadi mufti syafi'iyyah waktu itu bernama Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani (ayah Syeikh As_Sayid Muhammad Sa'id Babashol Al-Hasani). Sayid Abdurrahman Al-Hasani bersama mbah Kyai Dalhar berangkat ke Makkah dengan menggunakan kapal laut melalui pelabuhan Tanjung Mas, Semarang. Dikisahkan selama perjalanan dari Kebumen, singgah di Muntilan dan kemudian lanjut sampai di Semarang, saking ta'dzimnya mbah Kyai Dalhar kepada putera gurunya, beliau memilih tetap berjalan kaki sambil menuntun kuda yang dikendarai oleh Sayid Abdurrahman. Padahal Sayid Abdurrahman telah mempersilahkan mbah Kyai Dalhar agar naik kuda bersama. Namun itulah sikap yang diambil oleh sosok mbah Kyai Dalhar. Subhanallah.
Sesampainya di Makkah (waktu itu masih bernama Hejaz), mbah Kyai Dalhar dan Sayid Abdurrahman tinggal di rubath (asrama tempat para santri tinggal) Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani yaitu didaerah Misfalah. Sayid Abdurrahman dalam rihlah ini hanya sempat belajar pada Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani selama 3 bulan, karena beliau diminta oleh gurunya dan para ulama Hejaz untuk memimpin kaum muslimin mempertahankan Makkah dan Madinah dari serangan sekutu. Sementara itu mbah Kyai Dalhar diuntungkan dengan dapat belajar ditanah suci tersebut hingga mencapai waktu 25 tahun.
Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani inilah yang kemudian memberi nama "Dalhar" pada mbah Kyai Dalhar. Hingga ahirnya beliau memakai nama Nahrowi Dalhar. Dimana nama Nahrowi adalah nama asli beliau. Dan Dalhar adalah nama yang diberikan untuk beliau oleh Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani. Rupanya atas kehendak Allah Swt, mbah Kyai Nahrowi Dalhar dibelakang waktu lebih masyhur namanya dengan nama pemberian sang guru yaitu Mbah Kyai "Dalhar". Allahu Akbar.
Ketika berada di Hejaz inilah mbah Kyai Dalhar memperoleh ijazah kemusrsyidan Thariqah As-Syadziliyyah dari Syeikh Muhtarom Al-Makki dan ijazah aurad Dalailil Khoerat dari Sayid Muhammad Amin Al-Madani. Dimana kedua amaliyah ini dibelakang waktu menjadi bagian amaliah rutin yang memasyhurkan nama beliau di Jawa.
Riyadhah dan amaliahnyaMbah Kyai Dalhar adalah seorang ulama yang senang melakukan riyadhah. Sehingga pantas saja jika menurut riwayat shahih yang berasal dari para ulama ahli hakikat sahabat – sahabatnya, beliau adalah orang yang amat akrab dengan nabiyullah Khidhr as. Sampai – sampai ada putera beliau yang diberi nama Khidr karena tafaullan dengan nabiyullah tersebut. Sayang putera beliau ini yang cukup 'alim walau masih amat muda dikehendaki kembali oleh Allah Swt ketika usianya belum menginjak dewasa.
Selama di tanah suci, mbah Kyai Dalhar pernah melakukan khalwat selama 3 tahun disuatu goa yang teramat sempit tempatnya. Dan selama itu pula beliau melakukan puasa dengan berbuka hanya memakan 3 buah biji kurma saja serta meminum seteguk air zamzam secukupnya. Dari bagian riyadhahnya, beliau juga pernah melakukan riyadhah khusus untuk medoakan para keturunan beliau serta para santri – santrinya. Dalam hal adab selama ditanah suci, mbah Kyai Dalhar tidak pernah buang air kecil ataupun air besar di tanah Haram. Ketika merasa perlu untuk qadhil hajat, beliau lari keluar tanah Haram.
Selain mengamalkan dzikir jahr 'ala thariqatis syadziliyyah, mbah Kyai Dalhar juga senang melakukan dzikir sirr. Ketika sudah tagharruq dengan dzikir sirnya ini, mbah Kyai Dalhar dapat mencapai 3 hari 3 malam tak dapat diganggu oleh siapapun. Dalam hal thariqah As-Syadziliyyah ini menurut kakek penulis KH Ahmad Abdul Haq, beliau mbah Kyai Dalhar menurunkan ijazah kemursyidan hanya kepada 3 orang. Yaitu, Kyai Iskandar, Salatiga ; KH Dimyathi, Banten ; dan kakek penulis sendiri yaitu KH Ahmad Abdul Haq.
Sahrallayal (meninggalkan tidur malam) adalah juga bagian dari riyadhah mbah Kyai Dalhar. Sampai dengan sekarang, meninggalkan tidur malam ini menjadi bagian adat kebiasaan yang berlaku bagi para putera – putera di Watucongol.
KaramahnyaSebagai seorang auliyaillah, mbah Kyai Dalhar mempunyai banyak karamah. Diantara karamah yang dimiliki oleh beliau ialah :
Suaranya apabila memberikan pengajian dapat didengar sampai jarak sekitar 300 meter walau tidak menggunakan pengeras suara
Mengetahui makam – makam auliyaillah yang sempat dilupakan oleh para ahli, santri atau masyarakat sekitar dimana beliau – beliau tersebut pernah bertempat tinggal
Dll
Karya – karyanyaKarya mbah Kyai Dalhar yang sementara ini dikenal dan telah beredar secara umum adalah Kitab Tanwirul Ma'ani. Sebuah karya tulis berbahasa Arab tentang manaqib Syeikh As-Sayid Abil Hasan 'Ali bin Abdillah bin Abdil Jabbar As-Syadzili Al-Hasani, imam thariqah As-Syadziliyyah. Selain daripada itu sementara ini masih dalam penelitian. Karena salah sebuah karya tulis tentang sharaf yang sempat diduga sebagai karya beliau setelah ditashih kepada KH Ahmad Abdul Haq ternyata yang benar adalah kitab sharaf susunan Syeikh As-Sayid Mahfudz bin Abdurrahman Somalangu. Karena beliau pernah mengajar di Watucongol, setelah menyusun kitab tersebut di Tremas. Dimana pada saat tersebut belum muncul tashrifan ala Jombang.

Murid – muridnyaBanyak sekali tokoh – tokoh ulama terkenal negara ini yang sempat berguru kepada beliau semenjak sekitar tahun 1920 – 1959. Diantaranya adalah KH Mahrus, Lirboyo ; KH Dimyathi, Banten ; KH Marzuki, Giriloyo dll.
WafatnyaSesudah mengalami sakit selama kurang lebih 3 tahun, Mbah Kyai Dalhar wafat pada hari Rabu Pon, 29 Ramadhan 1890 – Jimakir (1378 H) atau bertepatan dengan 8 April 1959 M. Ada yang meriwayatkan jika beliau wafat pada 23 Ramadhan 1959. Akan tetapi 23 Ramadhan 1959 bukanlah hari Rabu namun jatuh hari Kamis Pahing. Menurut kakek penulis yaitu KH Ahmad Abdul Haq (putera laki-laki mbah Kyai Dalhar), yang benar mbah Kyai Dalhar itu wafat pada hari Rabu Pon.
Demikianlah manaqib singkat yang sebenarnya ditulis semoga menjadikan faham pada semua pihak. Penulis adalah cucu dari Mbah Kyai Dalhar dari jalur ibu. Adapun nasabnya yang sampai pada beliau dengan tartib adalah ibu penulis sendiri bernama Fitriyati binti KH Ahmad Abdul Haq bin KH Nahrowi Dalhar.

Gus Miek Bertemu KH. Dalhar, Watucongol

Setelah menunjukkan kemampuannya kepada kedua orang tuanya, beberapa bulan kemudian Gus MIek melanjudkan studinya di Lirboyo. Di tengah-tengah penddidikannya di Lirboyo, Gus Miek justru pergi ke Watucongol Magelang, ke pondok pesantren yang diasuh KH. Dalhar yang terkenal sebagai seorang wali di Jawa Tengah.
KH. Dalhar adalah seorang di antara tiga wali yang termasyhur di Fawa Tengah. Ketiga wali itu adalah KH. Hamid, Kajoran, Magelang, sebagai wali dakwah; dan KH. Dalhar sendiri sebagai wali hakikat. Akan tetapi, sejak KH. Dalhar wafat pada 1959, menurut sebagian pendapat, posisinya digantikan KH. Mangli, Muntilan, Magelang.
Awal kedatangannya di Watucongol pada 1954, Gus Miek tidak langsung mendaftarkan diri menjadi santri, tetapi hanya memancing di kolam pondok yang dijadikan tempat pemandian. Hal itu sering dilakukannya pada setiap datang di Watucongol kebiasaannya memancing tanpa memakai umpan, terutama di kolam tempat para santri mandi dan mencuci pakean, membuat Gus Miek terlihat seperti orang gila bagi orang yang belum mengenalnya. Setelah beberapa bulan dengan hanya dating dan memancing di kolam pemandian, ia lalu menemui KH. Dalhar dan meminta izin untuk belajar.
“Kiai, saya ingin ikut belajar kepada kiai,” kata Gus Miek ketika itu.
“Belajar apa tho, Gus, kok kepada saya,” tanya KH. Dalhar.
“Saya ingin belajar Al Qur’an dan Kelak ingin saya sebarkan,” jawab Gus Miek dengan mantap.
KH. Dalhar akhirnya mau menerima Gus Miek sebagai muridnya, khusus untuk belajar Al Qur’an. Akan tetapi, Gus Miek tidak hanya sampai di situ saja, ia berulang kali juga meminta berbagai ijsah amalan untuk menggapai cita-cita, tanggung jawab, dan ketenangan hidupnya. Seolah ingin menguras habis semua ilmu yang ada pada KH. Dalhar, terutama dalam hal kepasitas KH. Dalhar sebagai seorang wali, mursyid tarekat, dan pengajar Al Qur’an. Gus Miek juga seolah ingin mempelajari bagaimana seharusnya menjadi seorang wali, apa saja yang harus dipenuhi sebagai seorang mursyid, dan seorang pengajar Al Qur’an.
Setiap kali Gus Miek meminta tambahan ilmu, KH. Dalhar selalu menyuruh dia membaca Al Fatehah. Apa pun bentuk permintaan Gus Miek, KH. Dalhar selalu menyuruhnya mengamalkan Al Fatehah.
Barangkali karena ajaran KH. Dalhar sersebut, Gus Miek banyak memberikan ijasah bacaan Al Fatehah kepada para pengikutnya untuk segala urusan. Bahkan apabila ingin berhubungan dengan Gus Miek, cukup dengan membacakan Al Fatehah saja. Dan, bias jadi inilah yang mengilhami Gus Miek (di samping ijasah yang diberikan oleh Imam Al Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin yang disampaikan kepada adiknya) menerapkan ajaran sejumlah bacaan Al Fatihah dalam kegiatan wirid Lailiyah yang didirikannya pada tahun 1961, yang kemudian berkembang menjadi Dzikrul Ghofilin pada 1973..
KH. Dalhar,bagi Gus Miek, adalah satu-satunya orang yang dianggap sebagai guru dunia dan akhirat. Oleh karena itu, selama berada di Watucongol, Gus Miek dengan telaten selalu membersihkan terompah KH. Dalhar, dan menatanya untuk lebih mudah dipakai ketika KH. Dalhar naik ke masjid. Menurut Gus Miek, hal itu dilakukan sebagai upayanya untuk belajar istiqamah. Sebab istiqamah, menurut ajaran KH. Djazuli, ayahnya, adalah lebih utama dari 1000 karomah. Oleh karena itu, dalam rangka melatih keistiqamahannya, Gus Miek memulai dengan istiqamah membersihkan dan menata terompah KH. Dalhar gurunya.
Pernah, di suatu hari, Gus Miek menemukan trompah KH. Dalhar yang biasanya ada di depan kamar ada dua buah yang sama persis baik ukuran maupun bentuknya sehingga ia tidak bias membedakannya. Bungkul (tangkai tempat menjepit antara jari kaki) terompah KH. Dalhar terbuat dari emas, terompah yang satu juga sama. Akhirnya, ia membersihkan dan menata keduanya sambil menunggu siapakah tamu gurunya itu. Sekian lama ia menunggu sampai terkantuk-kantuk, tetapi terompah itu tetap dua buah jumlahnya. Ketika sesaat ia terlena, terompah itu tinggal satu. Ia terkejut, kemudian berlari jauh keluar pondok untuk melihat tamu tersebut sepanjang jalan sehingga nafasnya tersengal-sengal. Tetapi, jalan tampak sepi dan tidak ada seorang pun terlihat melintas. Padahal, menurut perkiraan Gus Miek, orang tua yang berjalan memakai terompah itu pasti belum jauh dan seharusnya sudah terkejar atau justru berada jauh di belakangnya.
Esok harinya, Gus Miek menemui KH. Dalhar yang baru turun dari masjid memimpin jama’ah shalat Zuhur, sesampai di kamarnya Gus Miek bertanya: “Maaf, Guru, tamu Guru tadi malam itu siapa?”
KH. Dalhar tidak menjawab, sementara Gus Miek tidak mau beranjak sebelum mendapatkan jawaban. Gus Miek tatap duduk menunggu jawaban dari KH. Dalhar. Ketika KH. Dalhar beranjak ke masjid untuk mengimami shalat Ashar, ia mengikutinya untuk menata terompah KH. Dalhar. Dan, ketika KH. Dalhar kembali ke kamar, Gus Miek pun kembali mengikutinya dan duduk di depan kamar untuk menunggu jawaban. Demikian juga ketika saat tiba waktu shalat Maghrib dan Isya. Sehingga, baru ketika sesudah Isya, KH. Dalhar menyuruh pembantunya memberi tahu bahwa tamunya semalam adalah Nabi Khidir. Setelah mendapatkan jawaban itu, barulah ia mau beranjak dari tempat duduknya. Menurut keterangan Nyai Dalhar, dari sekian banyak santri KH. Dalhar, hanya Gus Miek yang berani dan diizinkan masuk ke kamar KH. Dalhar.
Kegiatan Gus Miek di Watucongol selain mengaji Al Qur’an, Gus Miek juga tetap sering bepergian ke pasar-pasr, tempat hiburan, dn mengadu ayam jago. Kebiasaan ini membuat Gus Miek sering harus berhadapan dengan Gus Mad, putra KH. Dalhar, yang kebetulan saat itu memegang tanggung jawab sebagai keamanan pondok karena Gus Miek dianggap sering tidak disiplin. Sedangkan santri yang sering menemani Gus Miek saat di Watucongol adalah Bakri (KH.Bakri), kini pengasuh Pesantren Al Qur’an, Jampiroso, Kacangan, Boyolali.
Pernah Gus Miek menyuruh beberapa gus di Kediri agar buru-buru mondok di tempat KH. Dalhar karena dia akan meninggal. Semua berbondong ke tempat KH. Dalhar. Saat itu, Gus Miek menyatakan bahwa KH. Dalhar akan meninggal sekitar 23 Ramadhan 1959, begitu semua datang ke Watucongol, ternyata KH. Dalhar masih sehat. Tercatat di antara orang-orang yang pergi ke Watucongol adalah KH. Mubasyir Mundzir dan Gus Fu’ad (adik Gus Miek).
Pernah KH. Djazuli menugaskan Gus Nurul Huda untuk datang ke Watucongol mewakili KH. Djzuli untuk menyerahkan adik-adiknya yang mondok ke Watucongol. Di Watucongol, Gus Huda di samping menyerahkan adik-adiknya kepada KH. Dalhar sebagaimana amanat KH. Djazuli, juga meminta maaf bila bila adiknya, Gus Miek, banyak melakukan kekeliruan di Watucongol. Tetapi, jawab KH. Dalhar waktu itu justru sangat mengejutkan Gus Huda, “Gus Miek itu difatihahi mental,” jawab KH. Dalhar. Gus Huda hanya tersenyum karena dia sudah paham akan adiknya yang satu itu.
Dalam versi yang lain diceritakan bahwa bukan Gus Huda yang menyerahkan Gus Miek, tetapi kebalikannya. Saat itu, Gus Huda dan Gus Fua’ad disuruh KH. Djazuli agar mondok ke KH. Dalhar. Saat hendak berangkat, Gus Miek masih duduk di teras dengan hanya memakai celana pendek.
“Mau ke mana, Mas Dah?” tanya Gus Miek.
“Aku disuruh bapak mondok ke Jawa Tengah dengan Fu’ad,” jawab Gus Huda.
Keduanya kemudian berangkat dengan naik kereta api. Sesampainya di Watucongol, ternyata Gus Miek sudah berada di teras pondok dengan pakaian masih seperti tadi pagi ketika di kediri.
“Kenapa di sini?” tanya Gus Huda yang sudah mengenal kelebihan adiknya.
“Mengantar kalian kepada Kiai Dalhar,” jawab Gus Miek.
“Aku tidak mau kalau pakaianmu seperti itu,” jawab Gus Huda sambil memberikan pakaiannya ke pada Gus Miek untuk berganti pakaian.
Mereka bertiga kemudian sowan. Setelah sowan, Gus Miek mengantarkan memilih kamar dan setelah itu hilang entah ke mana dengan meninggalkan pakaian Gus Huda.
Akhirnya, semua memburu Gus Miek karena dianggap telah berbohong perihal kematian KH. Dalhar. Tetapi semua menjadi terdiam ketika 25 Ramadhan 1959, KH. Dalhar benar-benar meninggal dunia.